WADHIH
AD DILALAH
Ulama’ ushuliyyun membagi
ayat-ayat yang terdapat di dalam Al Quran ditinjau dari kejelasan makna dan kandungan
hukum-hukum yang dikehendaki oleh Allah SWT di dalamnya, menjadi 2 kategori:
a. Wadhih Ad Dilalah ala Ma’nahu (kejelasan
makna ayat)
Di
dalam memahami ayat ini tidak dibutuhkan amr kharij (sesuatu selainnya),
karena maksud dari ayat tersebut sudah jelas tanpa membutuhkan hal lain.
b. Mubham Ad Dilalah ala Ma’nahu (kesamaran
makna ayat)
Di
dalam memahami ayat ini harus mendatangkan amr kharij (sesuatu
selainnya), karena maksud dari ayat tersebut belum jelas sehingga membutuhkan
hal lain.
Wadhih
ad dilalah dan mubham ad dilalah keduanya memiliki
posisi kedudukan yang berbeda beda sesuai tingkat kejelasan atau kesamaran ayat.
(Sedangkan) pembagian Wadhih Ad Dilalah dilihat dari tingkat
kejelasannya terbagi menjadi 4 yaitu: ad dhahir, an nash, al mufassar, dan
al muhkam.
1. Ad Dhahir
Ad
Dhahir adalah lafadz yang menunjukkan makna dengan
menggunakan sighat (bentuk) kalimat yang tidak menggantungkan terhadap
sesuatu yang lain di dalam memahaminya. Dan perlu adanya pen-takhsis-an,
pen-takwil-an, dan pe-naskh-an.
Al-Bazdawi memberikan definisi tentang zhahir
sebagai berikut:
اسم
لكلّ كلام ظهر المرادبه للسّامع بصىيغته
Artinya
: “suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melalui bentuk lafadz itu sendiri.”
Sedangkan
definisi yang lebih jelas dikemukaan oleh Al-Sarakhsi:
ما
يعرف المراد منه بنفس السّامع من غير تأمّل
Artinya
: “sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa
harus dipikirkan terlebih dahulu.”[1]
Contoh:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا [النساء : 3]
Maksud dari ayat
di atas adalah kebolehan menikah, tidak kebolehan yang lain. Jadi ayat di atas
tanpa ada pendukung yang lain sudah jelas makna yang dikandungnya. Ayat ini
juga memuat beberapa kandungan hukum: batasan kebolehan menikah, yaitu maksimal
dengan menikahi 4 wanita, dan ketika tidak bisa memberikan keadilan di antara
istri-istrinya, maka dia hanya diperbolehkan menikahi seorang wanita saja.
حَدَّثَنِى
أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِىُّ
- قَالَ أَبُو الطَّاهِرِ حَدَّثَنَا وَقَالَ حَرْمَلَةُ أَخْبَرَنَا - ابْنُ وَهْبٍ
أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ
سَأَلَ عَائِشَةَ عَنْ قَوْلِ اللَّهِ (وَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ لاَ تُقْسِطُوا فِى الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ) قَالَتْ
يَا ابْنَ أُخْتِى هِىَ الْيَتِيمَةُ تَكُونُ فِى حَجْرِ وَلِيِّهَا تُشَارِكُهُ فِى
مَالِهِ فَيُعْجِبُهُ مَالُهَا وَجَمَالُهَا فَيُرِيدُ وَلِيُّهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا
بِغَيْرِ أَنْ يُقْسِطَ فِى صَدَاقِهَا فَيُعْطِيَهَا مِثْلَ مَا يُعْطِيهَا غَيْرُهُ
فَنُهُوا أَنْ يَنْكِحُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يُقْسِطُوا لَهُنَّ وَيَبْلُغُوا بِهِنَّ
أَعْلَى سُنَّتِهِنَّ مِنَ الصَّدَاقِ وَأُمِرُوا أَنْ يَنْكِحُوا مَا طَابَ لَهُمْ
مِنَ النِّسَاءِ سِوَاهُنَّ.
Telah menceritakan kepadaku Abu Ath
Thahir Ahmad bin Amru bin Sarh dan Harmalah bin Yahya At Tujibi berkata Abu Ath
Thahir: Telah menceritakan kepada kami, sedangkan Harmalah berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahab telah mengkhabarkan kepadaku Yunus dari
Ibnu syihab telah mengkhabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa ia bertanya
kepada Aisyah tentang firman Allah: "Dan jika kalian khawatir tidak
berlaku adil dalam masalah anak-anak yatim maka nikahilah (wanita-wanita) yang
baik bagi kalian dua, atau tiga, atau empat." (An Nisaa`: 3) Aisyah
berkata: Wahai keponakanku, itu maksudnya adalah seorang anak wanita yatim yang
berada di bawah pengawasan walinya (dan) ia ikut (dalam tanggungan) hartanya
lalu ia sang wali terkagum dengan harta dan kecantikan anak yatim itu kemudian
sang wali ingin menikahinya dengan (niatan) tidak adil di dalam maharnya agar
ia memberikannya sesuatu yang semisal dengan apa yang diberikan kepada selain
dia, lalu mereka dilarang untuk menikahi mereka kecuali untuk berlaku adil bagi
mereka dan agar mereka menyampaikan mahar yang lebih tinggi dan mereka
diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita yang baik bagi mereka selain
anak-anak yatim. (HR. Muslim)[2]
Keterangan di dalam
kitab Tafsir Ath Thabari, Hasan, Dhahak dan lainnya berkata: Ayat di
atas menghapus kebiasaan orang-orang Jahiliyyah pada awal-awal Islam muncul,
yaitu kebiasaan seorang laki-laki menikahi wanita dengan sesuka hatinya,
kemudian Islam membatasi, dengan kebolehan menikahi 4 wanita sekaligus, dengan
catatan bisa berlaku adil di antara istri-istrinya. Jika tidak bisa adil maka
hanya diperbolehkan menikahi 1 wanita.
Contoh ke-2:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
[الطلاق : 1]
Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[3]
(QS. Ath Thalaq: 1)
Ayat
ini menjelaskan tentang menjaga waktu sunah ketika mau mencerai istri.
2. Nash ( النص)
Nash menurut istilah ulama ushul fiqh
ialah sesuatu yang menunjukkan terhadap makna yang dimaksudkan secara asli dari
susunan kalimatnya melalui shighatnya itu sendiri, namun ia mengandung kemungkinan
untuk ditakwilkan.[4]
Sepanjang makna tersebut adalah yang segera difahami dari lafadz dan
pemahamannya tidak tergantung pada suatu yang bersifat khariji dan makna
tersebut adalah yang dikehendaki secara asli dari susunan kalimatnya maka
lafadz tersebut dianggap sebagai nash terhadap makna itu.
Menurut
Ad-Dabusi:
الزّائدعلى
الظّاهر بيانا إذا قوبل به
Artinya : “sesuatu lafadz yang
maknanya lebih jelas dari pada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafadz
zhahir.”
Menurut Al-Bazdawi:
مازداد
وضوحا على الظّاهر بمعنى المتكلّم لا فىى نفس
الصّيغة
Artinya : “lafadz yang lebih jelaz
maknanya dari pada makna lafadz zhahir ynag diambil dari si pembicaranya bukan
dari rumusan bahasa itu sendiri.”[5]
Contoh lafadz nash dalam firman
Allah surat Al-Baqarah: 275
وأحلّ
الله البيع وحرّم الرّبا .
Secara nash, ayat tersebut
bertujuan untuk menyatkan perbedaan antara jual beli dengan riba sebagai
sanggahan terhadap orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari
ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas
namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain bahkan dalam arti yang
lebih jelas yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya riba. Pemahaman menurut
cara yang terakhir ini disebut zhahir.
Contoh
lain dalam surat An-Nisa: 3
فانكحوا
ماطاب لكم من النّسآء مثنى وثلاث ورباع .
Artinya: “maka kwinilah
wanita-wanita ( lain ) yang kamu senangi; dua, tiga dan empat.”[6]
Ayat tersebut adalah nash mengenai
pembatasan jumlah isteri yang terbanyak yaitu empat orang isteri, karena itu
adalah makna yang segera dipahami dari lafadznya dan dimaksudkan secara asli
dari susunan kalimatnya.
Nash itu dalam penunjukannya
terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena penunjukan
nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan
asal. Sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang
mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih
mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung.
Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhahir
dalam penunjukannya , maka didahulukan yang nash, sehubungan dengan ini bila
terdapat pertentangan antara arti umum dan arti khusus, maka yang harus
didahulukan pengalamannya adalah yang berdasarkan arti khusus karena arti kh
usus inilah yang dimaksud menurut asal mulanya sedangkan arti umum meskipun
memang dimaksud pula tetapi didalam kerangka pengalaman seluruh satuan arti (afrad)-nya.
Contohnya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa: 24 :
وأحلّ لكم ماوراءذلكم
dihalalkan
untukmu selain yang disebutkan bagimu
Ayat
diatas disebutkan setelah menyebutkan perempuan-perempuan yang tidak boleh
dikawini oleh laki-laki. Hal ini berarti tidak haramnya semua perempuan yang
tidak tersebut dalam zhahir ayat tersebut, termasuk kaein yang kelima. Namu
zhahir ayat tersebut bertentangan dengan nash ayat 3 surat An-Nisa yang secara
tegas membatasi perkawinan itu sampai empat orang. Dengan demikian perkawinan
kelima sebagaimana yang dapat dilakukan berdasarkan zhahir ayat sebelumnya
menjadi batal menurut nash ayat ini.
3. Mufassar ( المفسّر )
Al-Uddah
merumuskan mufassar sebagai berikut:
ما يعرف معناه من لفظه ولايفتقر إلى قرينة
تفسيره
Artinya:
“sesuatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa
memmerlukan qarinah yang menafsirkannya.”[7]
Sedangkan
menurut ulama ushul fiqh, mufassar yaitu sesuatu yang menunjukan dengan
sendirinya atas maknanya yang terperinci dengan suatu perincian yang tidak lagi
tersisa kemungkinan takwil. Diantaranya ialah bahwasanya shighatnya menunjukan
dengan sendirinya dengan suatu dalalah yang jelas terhadap makna yang
terperincidan didalamnya terdapat sesuatu yang meniadakan pemungkinan maksud
selain maknanya, sebagaimana firman Allah SWT yang berkenaan dengan orang-orang
yang menuduh zina terhadap wanita-wanita terhormat.
فاجلدوهم ثمانين جلدة
Artinya:
“ maka deralah mereka delapan puluh kali deraan.” (QS. An-Nur:4)
Jumlah
tertentu tidak mengandung kemungkinan lebih maupun kurang.
وقاتلواالمشركين كافّة
Artinya: “dan perangilah kaum
musyrikin itu semua.” (QS. At-Taubah:
36)
Kata kaffah (semuanya) meniadakan
kemungkinan pentakhshiskan.[8]
Mufassar ada dua macam, yaitu:
1. Menurut asalnya, lafadz itu sudah jelas
dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Contohnya surat
An-Nur:4 yang diatas bahwa bilangan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu
delapan puluh kali dera. Tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau
kurang dari bilangan itu.
2. Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal)
dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil
lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. (mubayyan)
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحريررقبة مؤمنة ودية مسلّمة
إلى أهله
Artinya:
“orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia
memerdekaan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.” (QS.
An-Nisa: 92)[9]
Ayat diatas menyangkut keharusan
menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak dijelaskan mengenai
jumlah, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat
ini datang penjelasan dari Nabi dalan sunnah yang merinci keadaan dan cara
membayar diyat itu sehingga ayat diatas menjadi terinci dan jelas artinya.
Dilalah mufassar wajib diamalkan
secara qoth’i sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Lafadz mufassar
tidk mungkin dipalingkan artinya dari zhahirnya, karena tidak mungkin ditakwil
dan di takhsis melainkan hanya bisa di nasakh atau diubah apabila ada dalil
yang mengubahnya.
Dengan demikian mufassar lebih kuat
dari pada zhahir dan nash. Oleh sebab itu, apabila trjadi pertentangan antara
ketinganya maka mufassar harus didahulukan.
4. Muhkam ( المحكم )
Muhkam
menurut bahasa diambil dari kata ahkama yang berarti aqtana, yaitu pasti dan
tegas. Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang dikemukakan
As-Sarkhkasi:
فالمحكم ممتنع من إحتمال التّأويل ومن أن يردّ
عليه النّسخ
Artinya:
“muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nash.”[10]
Muhkam dalam istilah ulama ushil
fiqh ialah sesuatu yang menunjukan terhadap maknanya yang tidak menerima pembatalan
dan penggantian dengan sendirinya, dengan suatu dalalah yang jelas yang tidak
lagi tersisa kemungkinan takwil. Nash muhkam tidak mengandung kemungkinan
takwil, artinya memaksudkan makna lain yang tidak zhahir daripadanya, karena
nash tersebut telah diperinci dan ditafsirkan dengan suatu penafsiran yang
tidak memberikan peluang lagi bagi pentakwilan. Ia juga tidak menerima nasakh,
baik pada masa kerasulan, pada masa senggang dari turunnya wahyu maupun
sesudahnya. Karena hukum yang diambil dari nash tersebut mungkin merupakan
hukum yang asasi dari kaidah-kaidah agama yang tidak menerima penukaran,
seperti menyembah Allah semata, mengimani kitab-Nya dan rasul-Nya, ataupun
termasuk induk dari hal-hal terpuji yang tidak akan berubah dengan perubahan
situasi dan kondisi, sebagaimana berbakti kepada dua orang tua, bersikap adil,
atau hukum yang bersifat far’i yang juz’i, akan tetapi pembuat hukum menunjukan
terhadap pengukuhan syariatnya, sebagaimana firman Allah SWT mengenai
oarang-orang yang menuduh zina wanita-wanita terhormat:
ولاتقبلوا لهم شهادة ابدا
Artinya: “dan jangnlah kamu
menerima persaksian mereka selama-lamanya.” (QS. An-Nur: 4).
dan
sabda Rasulullah saw:
الجهاد ماض الى يوم القيامة
Artinya: “berjihad adalah terus
berlangsung sampai hari kiamat.”
Hukum nash yang muhkam adalah wajib
diamalkan secara pasti. Ia tidak mengandung kemungkinan untuk dipalingkan dari
zhahirnya dan penasakhkannya. Dalalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i,
tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab
itu dalalah muhkam lebih kuat daripada selutuh macam dalalah yang disebut
diatas. Oleh sebab inilah, apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil
diatas, maka yang harus didahulukan adalah dalalah muhkam.
[1]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm.
152 (dari situs atthamimy.blogspot.co.id)
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar Jiil), 8/239
[3]
Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri.
[4]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina utama, 1994) hlm.
247
[5]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.
154
[6]
Ibid. 247
[7]
Amir Syafifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2011),
hlm. 9
[8]
Ibid. 253
[9]
Ibid. 10
[10]
Ibid. 157
Tidak ada komentar:
Posting Komentar