Rabu, 04 November 2015

WADHIH AD DILALAH

WADHIH AD DILALAH
Ulama’ ushuliyyun membagi ayat-ayat yang terdapat di dalam Al Quran ditinjau dari kejelasan makna dan kandungan hukum-hukum yang dikehendaki oleh Allah SWT di dalamnya, menjadi 2 kategori:
a.       Wadhih Ad Dilalah ala Ma’nahu (kejelasan makna ayat)
Di dalam memahami ayat ini tidak dibutuhkan amr kharij (sesuatu selainnya), karena maksud dari ayat tersebut sudah jelas tanpa membutuhkan hal lain.
b.      Mubham Ad Dilalah ala Ma’nahu (kesamaran makna ayat)
Di dalam memahami ayat ini harus mendatangkan amr kharij (sesuatu selainnya), karena maksud dari ayat tersebut belum jelas sehingga membutuhkan hal lain.
Wadhih ad dilalah dan mubham ad dilalah keduanya memiliki posisi kedudukan yang berbeda beda sesuai tingkat kejelasan atau kesamaran ayat. (Sedangkan) pembagian Wadhih Ad Dilalah dilihat dari tingkat kejelasannya terbagi menjadi 4 yaitu: ad dhahir, an nash, al mufassar, dan al muhkam.
1.      Ad Dhahir
Ad Dhahir adalah lafadz yang menunjukkan makna dengan menggunakan sighat (bentuk) kalimat yang tidak menggantungkan terhadap sesuatu yang lain di dalam memahaminya. Dan perlu adanya pen-takhsis-an, pen-takwil-an, dan pe-naskh-an.
Al-Bazdawi memberikan definisi tentang zhahir sebagai berikut:
اسم لكلّ كلام ظهر المرادبه للسّامع بصىيغته                                                                                         
Artinya : “suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri.”
Sedangkan definisi yang lebih jelas dikemukaan oleh Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه بنفس السّامع من غير تأمّل                                                                                     
Artinya : “sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan terlebih dahulu.”[1]

Contoh:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا [النساء : 3]
Maksud dari ayat di atas adalah kebolehan menikah, tidak kebolehan yang lain. Jadi ayat di atas tanpa ada pendukung yang lain sudah jelas makna yang dikandungnya. Ayat ini juga memuat beberapa kandungan hukum: batasan kebolehan menikah, yaitu maksimal dengan menikahi 4 wanita, dan ketika tidak bisa memberikan keadilan di antara istri-istrinya, maka dia hanya diperbolehkan menikahi seorang wanita saja.
حَدَّثَنِى أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِىُّ - قَالَ أَبُو الطَّاهِرِ حَدَّثَنَا وَقَالَ حَرْمَلَةُ أَخْبَرَنَا - ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ عَنْ قَوْلِ اللَّهِ (وَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ لاَ تُقْسِطُوا فِى الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ) قَالَتْ يَا ابْنَ أُخْتِى هِىَ الْيَتِيمَةُ تَكُونُ فِى حَجْرِ وَلِيِّهَا تُشَارِكُهُ فِى مَالِهِ فَيُعْجِبُهُ مَالُهَا وَجَمَالُهَا فَيُرِيدُ وَلِيُّهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِغَيْرِ أَنْ يُقْسِطَ فِى صَدَاقِهَا فَيُعْطِيَهَا مِثْلَ مَا يُعْطِيهَا غَيْرُهُ فَنُهُوا أَنْ يَنْكِحُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يُقْسِطُوا لَهُنَّ وَيَبْلُغُوا بِهِنَّ أَعْلَى سُنَّتِهِنَّ مِنَ الصَّدَاقِ وَأُمِرُوا أَنْ يَنْكِحُوا مَا طَابَ لَهُمْ مِنَ النِّسَاءِ سِوَاهُنَّ.

Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir Ahmad bin Amru bin Sarh dan Harmalah bin Yahya At Tujibi berkata Abu Ath Thahir: Telah menceritakan kepada kami, sedangkan Harmalah berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahab telah mengkhabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu syihab telah mengkhabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah: "Dan jika kalian khawatir tidak berlaku adil dalam masalah anak-anak yatim maka nikahilah (wanita-wanita) yang baik bagi kalian dua, atau tiga, atau empat." (An Nisaa`: 3) Aisyah berkata: Wahai keponakanku, itu maksudnya adalah seorang anak wanita yatim yang berada di bawah pengawasan walinya (dan) ia ikut (dalam tanggungan) hartanya lalu ia sang wali terkagum dengan harta dan kecantikan anak yatim itu kemudian sang wali ingin menikahinya dengan (niatan) tidak adil di dalam maharnya agar ia memberikannya sesuatu yang semisal dengan apa yang diberikan kepada selain dia, lalu mereka dilarang untuk menikahi mereka kecuali untuk berlaku adil bagi mereka dan agar mereka menyampaikan mahar yang lebih tinggi dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita yang baik bagi mereka selain anak-anak yatim. (HR. Muslim)[2]
Keterangan di dalam kitab Tafsir Ath Thabari, Hasan, Dhahak dan lainnya berkata: Ayat di atas menghapus kebiasaan orang-orang Jahiliyyah pada awal-awal Islam muncul, yaitu kebiasaan seorang laki-laki menikahi wanita dengan sesuka hatinya, kemudian Islam membatasi, dengan kebolehan menikahi 4 wanita sekaligus, dengan catatan bisa berlaku adil di antara istri-istrinya. Jika tidak bisa adil maka hanya diperbolehkan menikahi 1 wanita.
Contoh ke-2:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ [الطلاق : 1]

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[3] (QS. Ath Thalaq: 1)
Ayat ini menjelaskan tentang menjaga waktu sunah ketika mau mencerai istri.
2.      Nash  ( النص)
Nash menurut istilah ulama ushul fiqh ialah sesuatu yang menunjukkan terhadap makna yang dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya melalui shighatnya itu sendiri, namun ia mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan.[4] Sepanjang makna tersebut adalah yang segera difahami dari lafadz dan pemahamannya tidak tergantung pada suatu yang bersifat khariji dan makna tersebut adalah yang dikehendaki secara asli dari susunan kalimatnya maka lafadz tersebut dianggap sebagai nash terhadap makna itu.
Menurut Ad-Dabusi:
الزّائدعلى الظّاهر بيانا إذا قوبل به                                                                                                          
            Artinya : “sesuatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafadz zhahir.”
            Menurut Al-Bazdawi:
مازداد وضوحا على الظّاهر بمعنى المتكلّم لا فىى نفس  الصّيغة                                                                     
            Artinya : “lafadz yang lebih jelaz maknanya dari pada makna lafadz zhahir ynag diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”[5]
            Contoh lafadz nash dalam firman Allah surat Al-Baqarah: 275
وأحلّ الله البيع  وحرّم الرّبا .                                                                                                                  
            Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatkan perbedaan antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain bahkan dalam arti yang lebih jelas yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya riba. Pemahaman menurut cara yang terakhir ini disebut zhahir.
Contoh lain dalam surat An-Nisa: 3
فانكحوا ماطاب لكم من  النّسآء مثنى وثلاث ورباع .
            Artinya: “maka kwinilah wanita-wanita ( lain ) yang kamu senangi; dua, tiga dan empat.”[6]
            Ayat tersebut adalah nash mengenai pembatasan jumlah isteri yang terbanyak yaitu empat orang isteri, karena itu adalah makna yang segera dipahami dari lafadznya dan dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya.
            Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena penunjukan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan asal. Sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhahir dalam penunjukannya , maka didahulukan yang nash, sehubungan dengan ini bila terdapat pertentangan antara arti umum dan arti khusus, maka yang harus didahulukan pengalamannya adalah yang berdasarkan arti khusus karena arti kh usus inilah yang dimaksud menurut asal mulanya sedangkan arti umum meskipun memang dimaksud pula tetapi didalam kerangka pengalaman seluruh satuan arti (afrad)-nya. Contohnya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa: 24 :
 وأحلّ لكم ماوراءذلكم
dihalalkan untukmu selain yang disebutkan bagimu                       
Ayat diatas disebutkan setelah menyebutkan perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh laki-laki. Hal ini berarti tidak haramnya semua perempuan yang tidak tersebut dalam zhahir ayat tersebut, termasuk kaein yang kelima. Namu zhahir ayat tersebut bertentangan dengan nash ayat 3 surat An-Nisa yang secara tegas membatasi perkawinan itu sampai empat orang. Dengan demikian perkawinan kelima sebagaimana yang dapat dilakukan berdasarkan zhahir ayat sebelumnya menjadi batal menurut nash ayat ini.
3.      Mufassar  ( المفسّر )
Al-Uddah merumuskan mufassar sebagai berikut:
ما يعرف معناه من لفظه ولايفتقر إلى قرينة تفسيره                                                                                    
Artinya: “sesuatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memmerlukan qarinah yang menafsirkannya.”[7]
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, mufassar yaitu sesuatu yang menunjukan dengan sendirinya atas maknanya yang terperinci dengan suatu perincian yang tidak lagi tersisa kemungkinan takwil. Diantaranya ialah bahwasanya shighatnya menunjukan dengan sendirinya dengan suatu dalalah yang jelas terhadap makna yang terperincidan didalamnya terdapat sesuatu yang meniadakan pemungkinan maksud selain maknanya, sebagaimana firman Allah SWT yang berkenaan dengan orang-orang yang menuduh zina terhadap wanita-wanita terhormat.
فاجلدوهم ثمانين جلدة                                                                                                            
Artinya: “ maka deralah mereka delapan puluh kali deraan.” (QS. An-Nur:4)
Jumlah tertentu tidak mengandung kemungkinan lebih maupun kurang.                                       
وقاتلواالمشركين كافّة                                                                                                                          
            Artinya: “dan perangilah kaum musyrikin itu semua.”  (QS. At-Taubah: 36)
            Kata kaffah (semuanya) meniadakan kemungkinan pentakhshiskan.[8]
            Mufassar ada dua macam, yaitu:
1.      Menurut asalnya, lafadz itu sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Contohnya surat An-Nur:4 yang diatas bahwa bilangan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera. Tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
2.      Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. (mubayyan)
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحريررقبة مؤمنة ودية مسلّمة إلى أهله                                                             
Artinya: “orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekaan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.” (QS. An-Nisa: 92)[9]
            Ayat diatas menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalan sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat diatas menjadi terinci dan jelas artinya.
            Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qoth’i sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Lafadz mufassar tidk mungkin dipalingkan artinya dari zhahirnya, karena tidak mungkin ditakwil dan di takhsis melainkan hanya bisa di nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
            Dengan demikian mufassar lebih kuat dari pada zhahir dan nash. Oleh sebab itu, apabila trjadi pertentangan antara ketinganya maka mufassar harus didahulukan.
4.      Muhkam  ( المحكم )
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama yang berarti aqtana, yaitu pasti dan tegas. Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang dikemukakan As-Sarkhkasi:
فالمحكم ممتنع من إحتمال التّأويل ومن أن يردّ عليه النّسخ                                                                
Artinya: “muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nash.”[10]
            Muhkam dalam istilah ulama ushil fiqh ialah sesuatu yang menunjukan terhadap maknanya yang tidak menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya, dengan suatu dalalah yang jelas yang tidak lagi tersisa kemungkinan takwil. Nash muhkam tidak mengandung kemungkinan takwil, artinya memaksudkan makna lain yang tidak zhahir daripadanya, karena nash tersebut telah diperinci dan ditafsirkan dengan suatu penafsiran yang tidak memberikan peluang lagi bagi pentakwilan. Ia juga tidak menerima nasakh, baik pada masa kerasulan, pada masa senggang dari turunnya wahyu maupun sesudahnya. Karena hukum yang diambil dari nash tersebut mungkin merupakan hukum yang asasi dari kaidah-kaidah agama yang tidak menerima penukaran, seperti menyembah Allah semata, mengimani kitab-Nya dan rasul-Nya, ataupun termasuk induk dari hal-hal terpuji yang tidak akan berubah dengan perubahan situasi dan kondisi, sebagaimana berbakti kepada dua orang tua, bersikap adil, atau hukum yang bersifat far’i yang juz’i, akan tetapi pembuat hukum menunjukan terhadap pengukuhan syariatnya, sebagaimana firman Allah SWT mengenai oarang-orang yang menuduh zina wanita-wanita terhormat:
ولاتقبلوا لهم شهادة ابدا                                                                                                                       
            Artinya: “dan jangnlah kamu menerima persaksian mereka selama-lamanya.” (QS. An-Nur: 4).
dan sabda Rasulullah saw:
الجهاد ماض الى يوم القيامة                                                                                                                  
            Artinya: “berjihad adalah terus berlangsung sampai hari kiamat.”
            Hukum nash yang muhkam adalah wajib diamalkan secara pasti. Ia tidak mengandung kemungkinan untuk dipalingkan dari zhahirnya dan penasakhkannya. Dalalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab itu dalalah muhkam lebih kuat daripada selutuh macam dalalah yang disebut diatas. Oleh sebab inilah, apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil diatas, maka yang harus didahulukan adalah dalalah muhkam.



[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm. 152 (dari situs atthamimy.blogspot.co.id)
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Jiil), 8/239
[3] Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina utama, 1994) hlm. 247
[5] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 154
[6] Ibid. 247
[7] Amir Syafifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 9
[8] Ibid. 253
[9] Ibid. 10
[10] Ibid. 157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar