BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang Masalah
Al
Quran adalah kitab suci kaum Muslim yang diyakini berisi wahyu- yang otentik
dari Allah. Doktrin ini menempatkan kitab suci ini sebagai sumber utama ajaran
Islam dan menjadi pedoman hidup abadi dan universal. Abadi berarti terus
berlaku sampai akhir zaman, sedangkan universal syari’atnya berlaku untuk
seluruh dunia tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis.
Dengan
doktrin ini diyakini bahwa kandungan-kandungannya baik yang berkenaan dengan
akidah, moral, termasuk masalah hukum adalah berlaku sepanjang masa. Hanya
saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para
ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan. Sebagian ulama melihat
bahwa faktor kesucian Al Qur’an yang paling menonjol, sedangkan yang lainnya
melihat faktor kelanggengan Al Qur’an dalam menjawab setiap tuntutan situasi
dan kondisi.
Di
antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan adalah nasikh
dan mansukh. Diskursus tentang konsep nasikh mansukh sampai saat ini masih
menjadi polemik yang berkepanjangan. Pertanyaan pokoknya adalah apakah ada
nasikh mansukh dalam Alquran? Persoalan ini bernuansa ikhtilaf (baca: kontradiksi)
di kalangan ulama. Sebagian ulama menolak konsep nasakh, namun sebagian
mendukung konsep nasakh tersebut, bahkan yang terbanyak dari mereka berpendapat
dan berkeyakinan bahwa tidak semua ayat Al Quran yang berkenaan dengan hukum
itu masih berlaku, sebab di antara ayat-ayat tersebut sudah ada yang dinasakh.
Nasikh-mansukh
berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa
pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan, dan pengubahan. Sesuatu yang
membatalkan, menghapus dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu yang
dibatalkan, dipindahkan, atau dihapus disebut mansukh.[1]
Namun yang dimaksud dengan naskh yang masyur dalam terminologi hukum Islam
ialah menghapus suatu hukum syara dengan dalil syara yang datang kemudian.[2]
Konsep
nasakh pada awalnya merupakan pembahasan ushul fiqh sebagai salah satu cara
menyelesaian beberapa dalil yang dianggap bertentangan oleh para mujtahid.
Sesuai dengan teori daf’ al-ta’arrud al-adillah, apabila ada dua
dalil yang sederajat bertentangan secara lahir maka diupayakan pemaduan atau
pengintegrasiannya oleh ulama mutaqaddim.[3]
Persoalan
inilah antara lain yang menjadi sebab timbulnya pembahasan tentang nasikh
mansukh. Sebagian ulama berpandangan nasikh mansukh itu memang
terdapat dan dinyatakan eksplisit oleh Al Quran sebagaimana disebutkan dalam
ayat yang menjadi basis doktrin nasakh yaitu Q.S. II: 106 di samping
ayat lainnya. Sementara kelompok penentang teori nasakh berargumen tidak
ada pertentangan dalam Al Quran dan karenanya tidak dibutuhkan teori nasikh
mansukh untuk Al Quran. Bagi penentang teori ini pertentangan itu hanya ada
dalam nalar fiqh manusia yang gagal mengkompromikan ayat-ayat Al Quran yang
seolah-olah bertentangan. Selain itu konsep nasikh mansukh itu
menghantam koherensi Al Quran dan lebih jauh lagi bertentangan dengan doktrin
keabadian Al Quran yang telah diterima secara luas.
Dengan
adanya keragaman perspektif tersebut tentu saja mengundang pertanyaan, mana di
antara kedua pendirian itu yang lebih kuat dan relevan dalam konteks kekinian,
untuk itulah tema ini menarik didiskusikan.
- Rumusan
Masalah
1. Apa
Landasan Ulama’ Yang Mendukung Konsep Nasikh-Mansukh?
2. Apa
Landasan Ulama’ Yang Menolak Konsep Nasikh-Mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN
- Diskursus
Konsep Nasikh-Mansukh
Dalam makalah ini pemakalah akan
mengemukakan keragaman pandangan tentang doktrin nasikh-mansukh, yaitu
dari kalangan ulama yang menerima konsep nasikh mansukh dan ulama yang
menolak nasikh mansukh. Selanjutnya pemakalah juga mengetengahkan
pandangan kaum orientalis terhadap konsep naskh dan terakhir adalah
model pembacaan teori naskh kontemporer yang diintrodusir oleh Mahmud
Muhammad Toha dan dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya Abdullahi Ahmed
An-Na’im.
1. Nasikh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya
Salah satu ayat yang menjadi basis
pembangunan teori naskh adalah firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah:106:
Ayat
mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah
kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Ulama
yang mempelopori konsep nasikh-mansukh dalam Al Qur’an adalah Al
Syafi’i, Al Nahhas, Al Suyuthi dan Al Syaukani.[4]
Persoalan naskh bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara
menyelesaian beberapa dalil yang dianggap bertentangan secara zhahir, maka
diupayakan pengkompromian kedua dalil tersebut. Apabila tidak bisa
dikompromikan maka salah satunya di naskh (dibatalkan). Ada beberapa
definisi nasakh yang dikemukakan kelompok ini, antara lain oleh Al Ghazali:
أنه الخطاب الدال على ارتفاع
الحكم الثابت با الخطاب المتقدم على وجه لو لاه لكان ثابتابه مع تراخيه عنه.[5]
Nasakh
adalah khitab yang menunjukkan terangkatnya hukum yang ditetapkan dengan
khitab terdahulu dalam bentuk seandainya ia tidak terangkat tentu masih
berlaku disamping hukum yang datang kemudian.
Definisi
lain dikemukakan oleh Al Amidi:
عبارة عن خطاب الشرع
المانع من استمرار ماثبت من خطاب الشرعي سابق.[6]
Ibarat
dari khitab pembuat hukum (syar’i) yang menolak kelanjutan berlakunya
hukum yang ditetapkan dengan titah terdahulu.
Dalam
kedua definisi di atas terlihat perbedaan fungsi naskh. Definisi pertama
mengartikan nasakh sebagai رفع
(pencabutan) perberlakuan hukum terdahulu, maka dalam definisi kedua naskh
diartikan sebagai المانع (mencegah), yaitu
mencegah kelangsungan berlakunya hukum yang terdahulu. Kedua definisi itu
diterima oleh kalangan jumhur.
Al-Syatibi
dari kalangan ulama Maliki juga menetapkan naskh dengan arti mencabut yang
dirumuskan dalam definisinya:
رفع الحكم الشرعي بدليل
شرعي متأخر.[7]
Dari
beberapa definisi yang berbeda tersebut dapat dapat dipahami bahwa nasakh
itu adalah memiliki beberapa terminologi yang tidak sama antara satu dan
lainnya bahkan di kalangan para pendukungnya. Namun jika di rangkum beberapa
pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa nasakh tiada lain
adalah dengan melihat bahwa ada suatu hukum, setelah itu ada perubahan,
penggantian, dan penambahan. Inilah yang menyebabkan adanya kesimpulan tentang
keberadaan nasakh.
Mengenai
adanya nasakh dalam syari’at Islam ini telah menimbulkan pertanyaan.
Mengapa terjadi nasakh dalam syari’at Islam? Menjawab pertanyaan ini
para ulama pendukung teori nasakh mengemukakan argumentasi dan sejumlah
alasan, baik yang didasarkan argumentasi rasional maupun yang bersandar pada nash.
Argumentasi
rasional, pertama, bahwa naskh tidak merupakan hal yang terlarang
menurut akal pikiran dan setiap yang tidak terlarang berarti boleh. Kedua,
seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam naskh,
maka syari akan tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan
perintah sementara dan melarangnya dengan larangan sementara. Ketiga,
seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat,
maka tidak akan ditetapkan risalah Muhammad sebab syari’at yang terdahulu
dengan sendirinya akan kekal. Padahal risalah Muhammad merupakan risalah
pengganti dan penyempurna. Oleh karena itu naskh boleh dan dapat terjadi.
Keempat, bahwa terdapat dalil yang menunjukkan naskh terjadi menurut
nash.[8]
Dasar
terjadinya naskh menurut nash dapat dicontohkan sebagai berikut:
Pertama, sumber dalam Taurat menjelaskan bahwa setelah Nabi Nuh turun dari
sampannya Allah memerintahkan bahwa semua binatang melata dan tumbuh-tumbuhan
boleh dimakan, tetapi kemudian diketahui syari’at Nabi Nuh mengharamkan
sebagian binatang melata. Kedua, Allah menyuruh Adam mengawinkan anak
perempuannya dengan anak laki-lakinya, kemudian yang berbeda bapak boleh kawin
mengawini, akan tetapi sekarang orang Islam, Yahudi dan Nasrani menolak
kebiasaan ini. Kasus di atas merupakan contoh terjadinya naskh dalam
syari’at-syari’at terdahulu. Sedangkan naskh dalam syari’ah Islam antara
lain dipahami dari sumber antara lain: Q.S. Al Baqarah 106; Q.S. Al Ra’ad: 39,
An Nahl: 101; An-Nisa :160. Dalam Al Quran sendiri menurut penganut teori nasakh
terdapat cukup banyak ayat yang dinasakh hukumnya.[9]
Al
Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum
tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau
berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang
diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu)
kemudian kebutuhan orang tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan
bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang
sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum
semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba Allah”.[10]
Tampaknya
para ulama penganut teori naskh mengakui proses penahapan pengiriman ilahi
dengan penyesuaian terhadap realitas yang berkembang. Bahwa Nabi Muhammad
diutus di tengah masyarakat jahiliyah yang tidak mengenal agama, maka
jika sekiranya hukum diberikan sekaligus akan berat untuk diterima oleh
masyarakatnya, maka diturunkanlah hukum itu secara tahap demi tahap, sesuai
dengan kebutuhan hukum waktu itu. Maka kalau ada hukum yang dinasakh itu bukan
hukum yang berlaku abadi. Di samping itu telah disepakati ulama bahwa
terjadinya nasakh itu hanyalah pada masa Nabi Muhammad dan tidak terjadi
naskh mansukh itu sesudah nabi wafat.[11]
Para
ulama pembela konsep nasakh memandang naskh sangat signifikan,
hal itu dapat diukur dari sejumlah besar karya yang ditulis berkaitan dengan
subjek tersebut. Pengetahuan yang memadai tentang naskh adalah merupakan
hal mendasar untuk dapat memahami Al Qur’an dengan baik. Para ulama pembela
konsep ini berpendapat, bahwa seseorang tidak diperkenankan menafsirkan Al Quran
kecuali setelah mengetahui dengan baik konsep abrogasi.
Fazlur
Rahman, pemikir modernis termasuk salah seorang pendukung teori naskh,
menjelaskan doktrin naskh secara psikologis. Ketika menerangkan ayat
yang bertalian dengan doktrin nasikh-mansukh (QS. XXII:52; II: 106;
XII:39 XVI: 101), ia mengemukakan bahwa Muhammad memang pernah memikirkan
semacam kompromi seperti yang didesak oleh musuh-musuhnya, tetapi Allah segera
“menghapus” atau “membatalkan” nya. Di dalam Al Quran banyak sekali bukti-bukti
bahwa ketika nabi pada waktu-waktu tertentu menghendaki perkembangan ke arah
tertentu, ternyata wahyu Allah menunjukkan ke arah lain.
Rahman
adalah tokoh modernis yang menerima tentang teori nasakh, namun Rahman
mengajukan eksposisi yang lain dan orisinil tenang naskh sekaligus
menolak terhadap doktrin nasikh mansukh tradisional seperti kalangan
modernis klasik lainnya.
Menurut
Rahman, ordonansi ilahi yang bertalian dengan sektor sosial memiliki
suatu bidang moral dan suatu bidang legal spesifik. Yang terakhir-bidang legal
spesifik- merupakan transaksi antara keabadian kalam dan situasi ekologis
aktual Arabia abad ketujuh. Aspek ekologis ini tentu saja dapat dikenakan
perubahan, asalkan bidang moral atau prinsip-prinsip moral yang berada di balik
ketentuan legal spesifik- yang merupakan respon terhadap situasi ekologis
tersebut- tetap terjaga.[12]
2. Nasikh Mansukh dalam Perspektif Penolaknya
Golongan
ulama yang menolak adanya nasakh dalam Al Quran berusaha mengkompromikan
ayat-ayat yang terlihat bertentangan sehingga tidak perlu di nasakh. Kelompok
penolak ini dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahani (w. 322 H), seorang pakar
tafsir yang termasyur dari kalangan Mu’tazilah. Menurut tokoh ini, di dalam Al Qur’an
tidak terdapat nasakh. Mengakui perihal adanya nasakh berarti juga
mengakui adanya kebatilan di dalam Al Qur’an. Isfahani mendasarkan argumennya
pada Q.S. Al-Fushshilat: 42 yang menegaskan:
Yang
tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.
Hukum-hukum
yang dibawa Al Qur’an bersifat abadi dan berlaku universal. Oleh karena itu,
tidak layak kalau di dalam Al Qur’an terdapat nasakh. Di samping itu
-kata Abu Muslim- ayat-ayat yang dinyatakan Jumhur mufassirin, saling
bertentangan ternyata masih dapat dikompromikan dengan mulus dan rasional.[13]
Pada
mulanya pendirian Abu Muslim itu tidak mendapat dukungan dan dianggap sebagai
pendirian yang kontroversial. Pakar tafsir di era klasik yang tercatat telah
mendukung pendirian Abu Muslim tersebut hanya Fakhruddin al-Razi (w 606 H). Di
era modern pendirian Abu Muslim mulai mendapat dukungan. Mereka yang termasuk
mendukung pendirian Abu Muslim tersebut adalah Syekh Muhammad Abduh (w.1325 H)
dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha (w 1354), Maulana Muhammad Ali, Abd
al-Muta’al al Jabari, Abd al-Karim al-Khathib dan Dr. Ahmad Hijazi al-Saqa,
meskipun demikian, jumlah mereka yang
telah menolak teori nasakh di dalam Alquran seperti dipresentasikan oleh
Abu Muslim tidak sebanyak jumlah mereka yang mendukung keberadannya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, terdapat kecenderungan semakin luas dalam memberikan
pandangan kritis terhadap doktrin nasikh-mansukh. Salah satu sumber
kritik itu adalah ulama-ulama klasik yang menerima doktrin ini juga silang
pendapat dalam menentukan mana ayat yang nasikh dan mana ayat yang mansukh.
Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangan ulama
klasik untuk menekankan jumlah ayat yang mansukh hingga mencapai
bilangan yang mengerikan. Ayat tentang jihad misalnya, dikatakan telah
membatalkan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersikap sabar,
pemaaf dan toleran, dalam keadaan tertekan. Al Suyuthi kemudian mereduksi
ratusan ayat yang dinyatakan mansukh menjadi hanya dua puluh ayat.
Sedangkan Syah Waliyullah menguranginya hingga tersisa lima ayat. Melihat
ayat-ayat yang mansukh ini kian lama kian berkurang jumlahnya seiring
dengan jalannya sejarah, Sir Sayyid Ahmad Khan langsung memproklamirkan bahwa
di dalam Al Qur’an tidak terdapat nasikh dan mansukh.[14]
Ahmad
Khan menegaskan keyakinannya bahwa Al Quran memiliki kebenaran yang bersifat universal. Ia
memandang keutuhan Al Quran tidak boleh terkena interplasi atau pengurangan
oleh tangan manusia. Demikian juga tentang susunan ayat-ayat Al Quran yang
otentik. Beberapa karakteristik Al Quran ini
memang merupakan keyakinan yang umumnya dipegang oleh kaum muslimin.
Dengan demikian pandangan-pandangan Ahmad Khan tersebut memiliki kedudukan yang
absah di antara kreteria penafsiran Al Quran. Salah satu prinsip karakteristik
Al Qur’an menurut Khan, karena kebenaran tidak mungkin bertolak belakang dengan
kebenaran, tentunya tidak akan ada ketidakselarasan antara kebenaran Tuhan,
kebenaran Al Quran dan kebenaran Ilmu Pengetahuan.
Masalah
nasikh-mansukh adalah persoalan krusial yang dibahas oleh Ahmad Khan.
Menurut Khan Al Qur’an sama sekali tidak mengenal adanya nasikh mansukh
antara ayat yang satu dengan lainnya. Sedangkan ayat-ayat yang sering dirujuk
sebagai pijakan bagi doktrin nasikh-mansukh
di dalam Al Quran –seperti surat Al
Baqarah: 106; Al Nahl: 101; Al Rad: 39,
dan sejenisnya—menurut Ahmad Khan sama sekali tidak berkaitan dengan
penghapusan ayat-ayat Al Quran. Dengan merujuk surat Al Baqarah ayat 106, Ahmad
Khan mengajukan kesimpulan bahwa doktrin nasikh mansukh hanya berkaitan
dengan penghapusan syari’at-syari’at pra- Islam.
Muhammad
Abduh, dalam menanggapi diskursif nasikh mansukh juga terlihat menolak
adanya naskh dalam Al Quran dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya
tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang
lain). Dalam pemahaman Abduh yang demikian, semua ayat Al Qur’an tetap berlaku,
tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau
orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang
tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya
sama dengan kondisi mereka semula.
Dalam
perspektif hikmah, pemahaman semacam ini
menurut Quraish Shihab akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga
ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang
kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.[15]
Penolakan
teori nasakh juga dikemukakan oleh Ahmad Hasan. Ia tidak mengakui adanya
naskh dalam Al Quran, sebab jika memang dalam Al Quran terdapat
teks-teks yang mansukh tentu Rasulullah akan menjelaskannya. Mengenai itu ia
menyatakan:
“Teori
klasik naskh tak mungkin berasal dari Rasulullah SAW, karena kita tidak
menemukan informasi apapun dari beliau akan adanya ayat-ayat yang dibatalkan
dalam Al Quran dengan pengertian ini. Seandainya suatu ayat telah benar-benar
dibatalkan, tentu beliau akan menunjukkan dengan tegas kepada orang banyak.
Karena ajaran Al Quran ditujukan bagi setiap zaman dan tempat, sangat sulit
dipercaya bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan persoalan yang demikian
penting, yang menyangkut pemahaman Al Quran kepada kebijaksanaan orang banyak”
Taufik
Adnan Amal dengan tajam juga mengkritisi teori nasikh mansukh sebagai
berikut :
Doktrin
nasikh-mansukh ini sesungguhnya hanya ada di dalam fiqh, bukan di dalam
Al Qur’an. Yang bertentangan sebenarnya adalah fiqh dan Al Qur’an, bukan antara
ayat Al Qur’an yang satu dengan lainnya.
Penisbatan nasikh-mansukh ke dalam ayat-ayat Al Qur’an pada faktanya
telah memperkosa doktrin keabadian Al Qur’an, kohenrensi (pertalian) dan
graduasi kitab suci tersebut.[16]
[1] Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan, 1999), 143.
[2] Al-Syatibi,
Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1975), 3/108.
[3] Ulama Hanafiyyah
dan Hanabilah misalnya mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang
bertentangan. tersebut dengan cara : 1) naskh, yaitu membatalkan hukum yang ada
didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda
dengan hukum yang pertama; 2) tarjih, yaitu menguatkan salah satu di antara dua
dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan indikasi yang dapat mendukungnya;
3) al-Jam’u wal-al Taufik, yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu
kemudian mengkrompomikannya; dan 4) Tasaqut al-Dalilain, yaitu mengugurkan
kedua dalil yang bertentangan.
Ulama
Syafi’iyah, Malikiyyah dan Dzahiriyah dalam metode penyelesaian taarrudh
‘adillah juga menggunakan konsep serupa tetapi dengan urutan metode yang
berbeda, dimulai dari al-jam’u wal-al taufik, tarjih , naskh dan tasaqut
al-dalilain. Lihat keterangan lengkap masaah ini misalnya dalam Nasrun Haroen,
Ushul Fiqh cet. 2, Jakarta: Logos Wacana Imu, 1997 h. 173-180; Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh I cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 h. 200-210.
[4] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an: Telaah
Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an, (Bandung: Tafakur, 2009), 187.
[5] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa
min Ilm Ushul, (Libanon: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2008), 143.
[6] Amir Syarifuddin,… 212
[7] A-Syatibi, Al-Muwafaqat fi
Ushul Al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Ma’arif), Vol. I
[8] Muhammad Abd
al-Azim al-Zarqany, Manahil al-Irfan , Isa al-Rabi al-Halabi, tt, h. 83-86
[9] Ibid. h. 88-89
[10] Quraish mengutip pendapat Ahmad
Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghiy, Mesir: Al-Halabiy, 1946, jilid I
h. 187.
[11] Kamal Muchtar (et. al.), Ushul
Fiqh, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 1/188.
[12] Rahman ini via Taufik Adnan
Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan, 1989), 156-157
[13] Fakhruddin al-Razi, Mafatih
al-Ghaib, (Mesir: Mathba’at al-Khairiyah, 1307 H), 1/ 443.
[14] Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal
Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual,
cet. III, (Bandung: Mizan, 1992), 29.
[15] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XIX, (Bandung:
Mizan, 1994) 148
[16] Taufik Adnan Amal,…29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar