Rabu, 04 November 2015

KONSEP NASIKH MANSUKH

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Al Quran adalah kitab suci kaum Muslim yang diyakini berisi wahyu- yang otentik dari Allah. Doktrin ini menempatkan kitab suci ini sebagai sumber utama ajaran Islam dan menjadi pedoman hidup abadi dan universal. Abadi berarti terus berlaku sampai akhir zaman, sedangkan universal syari’atnya berlaku untuk seluruh dunia tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis.
Dengan doktrin ini diyakini bahwa kandungan-kandungannya baik yang berkenaan dengan akidah, moral, termasuk masalah hukum adalah berlaku sepanjang masa. Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan. Sebagian ulama melihat bahwa faktor kesucian Al Qur’an yang paling menonjol, sedangkan yang lainnya melihat faktor kelanggengan Al Qur’an dalam menjawab setiap tuntutan situasi dan kondisi.
Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan adalah nasikh dan mansukh. Diskursus tentang konsep nasikh mansukh sampai saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Pertanyaan pokoknya adalah apakah ada nasikh mansukh dalam Alquran? Persoalan ini bernuansa ikhtilaf (baca: kontradiksi) di kalangan ulama. Sebagian ulama menolak konsep nasakh, namun sebagian mendukung konsep nasakh tersebut, bahkan yang terbanyak dari mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa tidak semua ayat Al Quran yang berkenaan dengan hukum itu masih berlaku, sebab di antara ayat-ayat tersebut sudah ada yang dinasakh.
Nasikh-mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan, dan pengubahan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dipindahkan, atau dihapus disebut mansukh.[1] Namun yang dimaksud dengan naskh yang masyur dalam terminologi hukum Islam ialah menghapus suatu hukum syara dengan dalil syara yang datang kemudian.[2]
Konsep nasakh pada awalnya merupakan pembahasan ushul fiqh sebagai salah satu cara menyelesaian beberapa dalil yang dianggap bertentangan oleh para mujtahid. Sesuai dengan teori daf’ al-ta’arrud al-adillah, apabila ada dua dalil yang sederajat bertentangan secara lahir maka diupayakan pemaduan atau pengintegrasiannya oleh ulama mutaqaddim.[3]
Persoalan inilah antara lain yang menjadi sebab timbulnya pembahasan tentang nasikh mansukh. Sebagian ulama berpandangan nasikh mansukh itu memang terdapat dan dinyatakan eksplisit oleh Al Quran sebagaimana disebutkan dalam ayat yang menjadi basis doktrin nasakh yaitu Q.S. II: 106 di samping ayat lainnya. Sementara kelompok penentang teori nasakh berargumen tidak ada pertentangan dalam Al Quran dan karenanya tidak dibutuhkan teori nasikh mansukh untuk Al Quran. Bagi penentang teori ini pertentangan itu hanya ada dalam nalar fiqh manusia yang gagal mengkompromikan ayat-ayat Al Quran yang seolah-olah bertentangan. Selain itu konsep nasikh mansukh itu menghantam koherensi Al Quran dan lebih jauh lagi bertentangan dengan doktrin keabadian Al Quran yang telah diterima secara luas.
Dengan adanya keragaman perspektif tersebut tentu saja mengundang pertanyaan, mana di antara kedua pendirian itu yang lebih kuat dan relevan dalam konteks kekinian, untuk itulah tema ini menarik didiskusikan.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa Landasan Ulama’ Yang Mendukung Konsep Nasikh-Mansukh?
2.      Apa Landasan Ulama’ Yang Menolak Konsep Nasikh-Mansukh?












BAB II
PEMBAHASAN
  1. Diskursus Konsep Nasikh-Mansukh
Dalam makalah ini pemakalah akan mengemukakan keragaman pandangan tentang doktrin nasikh-mansukh, yaitu dari kalangan ulama yang menerima konsep nasikh mansukh dan ulama yang menolak nasikh mansukh. Selanjutnya pemakalah juga mengetengahkan pandangan kaum orientalis terhadap konsep naskh dan terakhir adalah model pembacaan teori naskh kontemporer yang diintrodusir oleh Mahmud Muhammad Toha dan dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Na’im.
1.    Nasikh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya
Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori naskh adalah firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah:106:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Ulama yang mempelopori konsep nasikh-mansukh dalam Al Qur’an adalah Al Syafi’i, Al Nahhas, Al Suyuthi dan Al Syaukani.[4] Persoalan naskh bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaian beberapa dalil yang dianggap bertentangan secara zhahir, maka diupayakan pengkompromian kedua dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan maka salah satunya di naskh (dibatalkan). Ada beberapa definisi nasakh yang dikemukakan kelompok ini, antara lain oleh Al Ghazali:
أنه الخطاب الدال على ارتفاع الحكم الثابت با الخطاب المتقدم على وجه لو لاه لكان ثابتابه مع تراخيه عنه.[5]
Nasakh adalah khitab yang menunjukkan terangkatnya hukum yang ditetapkan dengan khitab terdahulu dalam bentuk seandainya ia tidak terangkat tentu masih berlaku disamping hukum yang datang kemudian.
Definisi lain dikemukakan oleh Al Amidi:
عبارة عن خطاب الشرع المانع من استمرار ماثبت من خطاب الشرعي سابق.[6]
Ibarat dari khitab pembuat hukum (syar’i) yang menolak kelanjutan berlakunya hukum yang ditetapkan dengan titah terdahulu.
Dalam kedua definisi di atas terlihat perbedaan fungsi naskh. Definisi pertama mengartikan nasakh sebagai رفع (pencabutan) perberlakuan hukum terdahulu, maka dalam definisi kedua naskh diartikan sebagai المانع (mencegah), yaitu mencegah kelangsungan berlakunya hukum yang terdahulu. Kedua definisi itu diterima oleh kalangan jumhur.
Al-Syatibi dari kalangan ulama Maliki juga menetapkan naskh dengan arti mencabut yang dirumuskan dalam definisinya:
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر.[7]

Dari beberapa definisi yang berbeda tersebut dapat dapat dipahami bahwa nasakh itu adalah memiliki beberapa terminologi yang tidak sama antara satu dan lainnya bahkan di kalangan para pendukungnya. Namun jika di rangkum beberapa pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa nasakh tiada lain adalah dengan melihat bahwa ada suatu hukum, setelah itu ada perubahan, penggantian, dan penambahan. Inilah yang menyebabkan adanya kesimpulan tentang keberadaan nasakh.
Mengenai adanya nasakh dalam syari’at Islam ini telah menimbulkan pertanyaan. Mengapa terjadi nasakh dalam syari’at Islam? Menjawab pertanyaan ini para ulama pendukung teori nasakh mengemukakan argumentasi dan sejumlah alasan, baik yang didasarkan argumentasi rasional maupun yang bersandar pada nash.
Argumentasi rasional, pertama, bahwa naskh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran dan setiap yang tidak terlarang berarti boleh. Kedua, seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam naskh, maka syari akan tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara dan melarangnya dengan larangan sementara. Ketiga, seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, maka tidak akan ditetapkan risalah Muhammad sebab syari’at yang terdahulu dengan sendirinya akan kekal. Padahal risalah Muhammad merupakan risalah pengganti dan penyempurna. Oleh karena itu naskh boleh dan dapat terjadi. Keempat, bahwa terdapat dalil yang menunjukkan naskh terjadi menurut nash.[8]
Dasar terjadinya naskh menurut nash dapat dicontohkan sebagai berikut: Pertama, sumber dalam Taurat menjelaskan bahwa setelah Nabi Nuh turun dari sampannya Allah memerintahkan bahwa semua binatang melata dan tumbuh-tumbuhan boleh dimakan, tetapi kemudian diketahui syari’at Nabi Nuh mengharamkan sebagian binatang melata. Kedua, Allah menyuruh Adam mengawinkan anak perempuannya dengan anak laki-lakinya, kemudian yang berbeda bapak boleh kawin mengawini, akan tetapi sekarang orang Islam, Yahudi dan Nasrani menolak kebiasaan ini. Kasus di atas merupakan contoh terjadinya naskh dalam syari’at-syari’at terdahulu. Sedangkan naskh dalam syari’ah Islam antara lain dipahami dari sumber antara lain: Q.S. Al Baqarah 106; Q.S. Al Ra’ad: 39, An Nahl: 101; An-Nisa :160. Dalam Al Quran sendiri menurut penganut teori nasakh terdapat cukup banyak ayat yang dinasakh hukumnya.[9]
Al Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan orang tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba Allah”.[10]
Tampaknya para ulama penganut teori naskh mengakui proses penahapan pengiriman ilahi dengan penyesuaian terhadap realitas yang berkembang. Bahwa Nabi Muhammad diutus di tengah masyarakat jahiliyah yang tidak mengenal agama, maka jika sekiranya hukum diberikan sekaligus akan berat untuk diterima oleh masyarakatnya, maka diturunkanlah hukum itu secara tahap demi tahap, sesuai dengan kebutuhan hukum waktu itu. Maka kalau ada hukum yang dinasakh itu bukan hukum yang berlaku abadi. Di samping itu telah disepakati ulama bahwa terjadinya nasakh itu hanyalah pada masa Nabi Muhammad dan tidak terjadi naskh mansukh itu sesudah nabi wafat.[11]
Para ulama pembela konsep nasakh memandang naskh sangat signifikan, hal itu dapat diukur dari sejumlah besar karya yang ditulis berkaitan dengan subjek tersebut. Pengetahuan yang memadai tentang naskh adalah merupakan hal mendasar untuk dapat memahami Al Qur’an dengan baik. Para ulama pembela konsep ini berpendapat, bahwa seseorang tidak diperkenankan menafsirkan Al Quran kecuali setelah mengetahui dengan baik konsep abrogasi.
Fazlur Rahman, pemikir modernis termasuk salah seorang pendukung teori naskh, menjelaskan doktrin naskh secara psikologis. Ketika menerangkan ayat yang bertalian dengan doktrin nasikh-mansukh (QS. XXII:52; II: 106; XII:39 XVI: 101), ia mengemukakan bahwa Muhammad memang pernah memikirkan semacam kompromi seperti yang didesak oleh musuh-musuhnya, tetapi Allah segera “menghapus” atau “membatalkan” nya. Di dalam Al Quran banyak sekali bukti-bukti bahwa ketika nabi pada waktu-waktu tertentu menghendaki perkembangan ke arah tertentu, ternyata wahyu Allah menunjukkan ke arah lain.
Rahman adalah tokoh modernis yang menerima tentang teori nasakh, namun Rahman mengajukan eksposisi yang lain dan orisinil tenang naskh sekaligus menolak terhadap doktrin nasikh mansukh tradisional seperti kalangan modernis klasik lainnya.
Menurut Rahman, ordonansi ilahi yang bertalian dengan sektor sosial memiliki suatu bidang moral dan suatu bidang legal spesifik. Yang terakhir-bidang legal spesifik- merupakan transaksi antara keabadian kalam dan situasi ekologis aktual Arabia abad ketujuh. Aspek ekologis ini tentu saja dapat dikenakan perubahan, asalkan bidang moral atau prinsip-prinsip moral yang berada di balik ketentuan legal spesifik- yang merupakan respon terhadap situasi ekologis tersebut- tetap terjaga.[12]

2.    Nasikh Mansukh dalam Perspektif Penolaknya
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam Al Quran berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan sehingga tidak perlu di nasakh. Kelompok penolak ini dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahani (w. 322 H), seorang pakar tafsir yang termasyur dari kalangan Mu’tazilah. Menurut tokoh ini, di dalam Al Qur’an tidak terdapat nasakh. Mengakui perihal adanya nasakh berarti juga mengakui adanya kebatilan di dalam Al Qur’an. Isfahani mendasarkan argumennya pada Q.S. Al-Fushshilat: 42 yang menegaskan:
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Hukum-hukum yang dibawa Al Qur’an bersifat abadi dan berlaku universal. Oleh karena itu, tidak layak kalau di dalam Al Qur’an terdapat nasakh. Di samping itu -kata Abu Muslim- ayat-ayat yang dinyatakan Jumhur mufassirin, saling bertentangan ternyata masih dapat dikompromikan dengan mulus dan rasional.[13]
Pada mulanya pendirian Abu Muslim itu tidak mendapat dukungan dan dianggap sebagai pendirian yang kontroversial. Pakar tafsir di era klasik yang tercatat telah mendukung pendirian Abu Muslim tersebut hanya Fakhruddin al-Razi (w 606 H). Di era modern pendirian Abu Muslim mulai mendapat dukungan. Mereka yang termasuk mendukung pendirian Abu Muslim tersebut adalah Syekh Muhammad Abduh (w.1325 H) dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha (w 1354), Maulana Muhammad Ali, Abd al-Muta’al al Jabari, Abd al-Karim al-Khathib dan Dr. Ahmad Hijazi al-Saqa, meskipun demikian, jumlah mereka yang  telah menolak teori nasakh di dalam Alquran seperti dipresentasikan oleh Abu Muslim tidak sebanyak jumlah mereka yang mendukung keberadannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat kecenderungan semakin luas dalam memberikan pandangan kritis terhadap doktrin nasikh-mansukh. Salah satu sumber kritik itu adalah ulama-ulama klasik yang menerima doktrin ini juga silang pendapat dalam menentukan mana ayat yang nasikh dan mana ayat yang mansukh. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangan ulama klasik untuk menekankan jumlah ayat yang mansukh hingga mencapai bilangan yang mengerikan. Ayat tentang jihad misalnya, dikatakan telah membatalkan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersikap sabar, pemaaf dan toleran, dalam keadaan tertekan. Al Suyuthi kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatakan mansukh menjadi hanya dua puluh ayat. Sedangkan Syah Waliyullah menguranginya hingga tersisa lima ayat. Melihat ayat-ayat yang mansukh ini kian lama kian berkurang jumlahnya seiring dengan jalannya sejarah, Sir Sayyid Ahmad Khan langsung memproklamirkan bahwa di dalam Al Qur’an tidak terdapat nasikh dan mansukh.[14]
Ahmad Khan menegaskan keyakinannya bahwa Al Quran memiliki  kebenaran yang bersifat universal. Ia memandang keutuhan Al Quran tidak boleh terkena interplasi atau pengurangan oleh tangan manusia. Demikian juga tentang susunan ayat-ayat Al Quran yang otentik. Beberapa karakteristik Al Quran ini   memang merupakan keyakinan yang umumnya dipegang oleh kaum muslimin. Dengan demikian pandangan-pandangan Ahmad Khan tersebut memiliki kedudukan yang absah di antara kreteria penafsiran Al Quran. Salah satu prinsip karakteristik Al Qur’an menurut Khan, karena kebenaran tidak mungkin bertolak belakang dengan kebenaran, tentunya  tidak akan ada  ketidakselarasan antara kebenaran Tuhan, kebenaran Al Quran dan kebenaran Ilmu Pengetahuan.
Masalah nasikh-mansukh adalah persoalan krusial yang dibahas oleh Ahmad Khan. Menurut Khan Al Qur’an sama sekali tidak mengenal adanya nasikh mansukh antara ayat yang satu dengan lainnya. Sedangkan ayat-ayat yang sering dirujuk sebagai pijakan  bagi doktrin nasikh-mansukh di dalam Al Quran –seperti  surat Al Baqarah: 106;  Al Nahl: 101; Al Rad: 39, dan sejenisnya—menurut Ahmad Khan sama sekali tidak berkaitan dengan penghapusan ayat-ayat Al Quran. Dengan merujuk surat Al Baqarah ayat 106, Ahmad Khan mengajukan kesimpulan bahwa doktrin nasikh mansukh hanya berkaitan dengan penghapusan syari’at-syari’at pra- Islam.
Muhammad Abduh, dalam menanggapi diskursif nasikh mansukh juga terlihat menolak adanya naskh dalam Al Quran dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain). Dalam pemahaman Abduh yang demikian, semua ayat Al Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Dalam perspektif  hikmah, pemahaman semacam ini menurut Quraish Shihab akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.[15]
Penolakan teori nasakh juga dikemukakan oleh Ahmad Hasan. Ia tidak mengakui adanya naskh dalam Al Quran, sebab jika memang dalam Al Quran terdapat teks-teks yang mansukh tentu Rasulullah akan menjelaskannya. Mengenai itu ia menyatakan:
“Teori klasik naskh tak mungkin berasal dari Rasulullah SAW, karena kita tidak menemukan informasi apapun dari beliau akan adanya ayat-ayat yang dibatalkan dalam Al Quran dengan pengertian ini. Seandainya suatu ayat telah benar-benar dibatalkan, tentu beliau akan menunjukkan dengan tegas kepada orang banyak. Karena ajaran Al Quran ditujukan bagi setiap zaman dan tempat, sangat sulit dipercaya bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan persoalan yang demikian penting, yang menyangkut pemahaman Al Quran kepada kebijaksanaan orang banyak”
Taufik Adnan Amal dengan tajam juga mengkritisi teori nasikh mansukh sebagai berikut :
Doktrin nasikh-mansukh ini sesungguhnya hanya ada di dalam fiqh, bukan di dalam Al Qur’an. Yang bertentangan sebenarnya adalah fiqh dan Al Qur’an, bukan antara ayat Al Qur’an yang satu dengan  lainnya. Penisbatan nasikh-mansukh ke dalam ayat-ayat Al Qur’an pada faktanya telah memperkosa doktrin keabadian Al Qur’an, kohenrensi (pertalian) dan graduasi kitab suci tersebut.[16]












[1] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), 143.
[2] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1975), 3/108.
[3] Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah misalnya mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan. tersebut dengan cara : 1) naskh, yaitu membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama; 2) tarjih, yaitu menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan indikasi yang dapat mendukungnya; 3) al-Jam’u wal-al Taufik, yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian mengkrompomikannya; dan 4) Tasaqut al-Dalilain, yaitu mengugurkan kedua dalil yang bertentangan.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyyah dan Dzahiriyah dalam metode penyelesaian taarrudh ‘adillah juga menggunakan konsep serupa tetapi dengan urutan metode yang berbeda, dimulai dari al-jam’u wal-al taufik, tarjih , naskh dan tasaqut al-dalilain. Lihat keterangan lengkap masaah ini misalnya dalam Nasrun Haroen, Ushul Fiqh cet. 2, Jakarta: Logos Wacana Imu, 1997 h. 173-180; Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 h. 200-210.

[4] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an, (Bandung: Tafakur, 2009), 187.
[5] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm Ushul, (Libanon: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2008), 143.
[6] Amir Syarifuddin,… 212
[7] A-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Ma’arif), Vol. I
[8] Muhammad Abd al-Azim al-Zarqany, Manahil al-Irfan , Isa al-Rabi al-Halabi, tt, h. 83-86

[9] Ibid. h. 88-89
[10] Quraish mengutip pendapat Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghiy, Mesir: Al-Halabiy, 1946, jilid I h. 187.
[11] Kamal Muchtar (et. al.), Ushul Fiqh, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 1/188.
[12] Rahman ini via Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989), 156-157
[13] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Mesir: Mathba’at al-Khairiyah, 1307 H), 1/ 443.
[14] Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, cet. III, (Bandung: Mizan, 1992), 29.
[15] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XIX, (Bandung: Mizan, 1994) 148
[16] Taufik Adnan Amal,…29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar