WADHIFAH
YANG BACA SEBELUM SHALAT SHUBUH
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ يَا
ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ، أَمِتْنَا عَلَى دِيْنِ الْإِسْلَامِ (41مَرَّةً)
“Wahai
Dzat Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri Wahai Dzat pemilik segala Kegagahan
dan Kemuliaan, tiada Tuhan selain Engkau. Cabutlah nyawa kami dalam keadaam
Islam (membawa iman)”.
Ini adalah dzikir atau wadhifah yang dibimbing
langsung oleh Hadratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA untuk di-istiqamah-kan
dibaca setiap sebelum shalat Shubuh. Pujian ini dibaca sebanyak 41 kali dan
kemudian dilanjut dengan pembacaan Allahul kaafii sebanyak 7 kali.
Di dalam kitab Haasyiyah ‘Ianah Ath Thalibin dijelaskan
bahwa wadhifah tersebut memiliki faedah agar menguatkan keimanan. Dan itu sudah
teruji oleh para ulama’ terdahulu, mereka mendapatkan perintah langsung dari
Nabi SAW.[1]
Ibn Qayyim berkata: “Hasil uji coba para salik mereka
mencoba dan membiasakan secara benar. Bahwa, seorang yang membiasakan secara istiqamah
membaca yaa hayyu yaa qayyum laa
ilaha anta maka Allah memberikan dan menganugrahkan kepadanya hati dan akal
yang hidup.”
Beliau memberikan isyarat: bahwa seorang yang
membiasakan setiap hari membacanya sebanyak 40 kali setelah melakukan (shalat)
sunah Shubuh, sebelum melakukan Shalat Fardhu (Shubuh), maka hatinya akan hidup
dan tidak akan mati. Berikut doanya:[2]
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ
Dan
di dalam kitab Tuhfah Al Habib ala Syarh Al Khatib diriwayatkan dari
Imam At Turmudzi Al Hakim, berkata: “Saya berkali-kali mimpi diberi peringatan
oleh Allah SWT, kemudian saya memohon dan meminta kepada-Nya: ‘Ya Allah,
sungguh hamba takut akan menurunnya kualitas keimanan, sehingga lambat laun akan
hilangnya keimanan ini, maka Allah kemudian memerintahkanku untuk membaca dan
mengamalkan doa setelah melakukan (shalat) sunah Shubuh, sebelum melakukan
Shalat Fardhu (Shubuh) sebanyak 41 kali:
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا بَدِيْعَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ، يَا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ أَسْأَلُكَ أَنْ تُحْيِيَ قَلْبِيْ بِنُوْرِ مَعْرِفَتِكَ يَا اللهُ يَا
اللهُ يَا اللهُ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ[3]
Kalau kita lihat ketiga redaksi tersebut tampak jelas
perbedaan di antara ketiganya. Susunan kata dan kalimat yang berbeda, jumlah
bilangan yang berbeda, ada yang mengatakan 40 dan ada pula yang mengatakan 41,
dan redaksi yang kedua lebih sedikit dan yang ketiga lebih banyak dari pada
redaksi yang dibimbingkan Beliau RA kepada kita. Terus apakah hal tersebut
berpengaruh?, tidak!.
Kalau
dalam Ilmu Hadits, ini disebut dengan periwayatan bil makna. Yaitu
periwayatan yang redaksinya tidak sesuai dengan teks aslinya, akan tetapi
maksud dan artinya sama. Dan hukumnya sah-sah saja, yang penting esensinya
masih sama.
Setelah itu kemudian dilanjut dengan pembacaan:
اللهُ الْكَافِي رَبُّنَا الْكَافِي قَصَدْنَا الْكَافِي
وَجَدْنَا الْكَافِي لِكُلٍّ كَافِي كَفَانَا الْكَافِي وَنِعْمَ الْكَافِي الْحَمْدُ
للهِ
“Allah
adalah Dzat yang Maha Mencukupi. (Dialah) Tuhan kami yang Maha Mencukupi (sebab)
ketika kami menghendaki kecukupan (hidup dan penghidupan) kami pun menemukan
kecukupan (tersebut) Segala sesuatunya pun (bisa) tercukupi (untuk menangani
masalah seperti itu) cukuplah bagi kami Dzat yang Maha Mencukupi Dan Dia adalah
sebaik-baik Dzat yang Maha Mencukupi Al Hamdu Lillah.
Ini dibaca setelah yaa hayyu yaa qayyum sebanyak 7
kali. Seperti yang bisa kita lihat dari terjemah (bebasnya), content
dari dzikir ini berkisar tentang pengakuan (i'tirof), kepasrahan (tawakkal),
dan tauhid.
Jadi, sepagi itu, ketika kita baru saja terjaga dari
tidur lelap dan ketika kesadaran kita baru saja (di)kembali(kan), kita sudah
'membuat' pengakuan bahwa Dialah satusatunya Dzat yang (akan) Mencukupi hidup
dan kehidupan kita sepanjang hari nanti.
Dialah yang akan Mencukupkan hasil dari usaha serta ikhtiyar
kita dalam memenuhi segala kebutuhan dan tanggung jawab kita seharian nanti.
Yang sempat terekam dalam ingatan kami dari dedawuhan
Beliau RA ketika membahas dzikir ini adalah bahwa dzikir ini dijadikan sebagai
semacam pegangan hidup, motivator, dan penyemangat agar sepanjang hari nanti,
kita bisa tetap semangat, optimis, dan powerful dalam menghadapai segala hal
yang terjadi dan menimpa kita sepanjang hari nanti. Pahit-manis, susah-senang,
gagal-berhasil dan berbagai bumbu kehidupan yang lain, apapun itu, diharapkan
bisa menjadi tawar dan tak menimbulkan gangguan (psikis) yang berarti, seperti
bikin galau. (Akhi Dziya’ Ul Azman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar