Senin, 30 November 2015

TAFSIR MODERN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kajian  tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah  berhenti. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out date. Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. merujuk pada temuan ulam kontemporer, yang dianut sebagian pakar al qur`an  pemilahan metode tafsir al qur`an kepada empat metode (1). Ijmali (Global) (2). Tahlili (Analis) (3). Muqarin (Perbandingan) (4). Maudlu`i (Tematik), ditambah satu metode lagi, yaitu metode kontekstual (menafsirkan al qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan  berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya al qur`an) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Tafsir Modern?
2.      Apa Yang Memicu Kemunculan Tafsir Modern?
3.      Metode Seperti Apa Yang Digunakan Dalam Tafsir Modern?
4.      Seperti Apa Contoh Kitab Tafsir Modern?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir Modern
Secara teoritis, tafsir berarti usaha untuk memperluas makna teks Al Qur`an, Sedangkan secara praktis berarti usaha untuk mengadaptasikan “Teks al qur`an dengan situasi kontemporer seorang mufasir. Berarti tafsir modern adalah; usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat al qur`an dengan tuntutan Zaman. “kontemporer”  bermakna sekarang atau modern yang berasal dari bahasa inggris(contemporary). Tak ada kesepakatan yang jelas tentang Istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau 21? Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya saling saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya takberlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain.Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer.
Bila tidak dipahami dengan cermat, definisi di atas, akan menyesatkan banyak orang sebab akan terkesan bahwa Al Qur`an harus mengikuti perkembangan zaman, sebuah statemen yang tidak boleh diucapkan oleh siapapun. Secara terperinci maksud dari tafsir modern adalah; merekonstruksi kembali produ-produk tafsir klasik yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern.
B.     Kemunculan Tafsir Modern Kontemporer
Abad ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu.
Kajian tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out date. Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Shah waliyullah ( 1701-1762 ) seorang pembaharu Islam dari Delhi, merupakan  orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “modern” , dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits  fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran mosern. Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa, maka di Mesir, munculah tafsir Mohammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull (w. 1978), Hasan Hanafi wafat.  Bita Shathi ( w. 2000 ), Nasr Abu Zayd ( lahir. 1942 ), Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman.
C.    Metodologi Tafsir Kontekstual
Istilah kontekstual sedikitnya mengandung tiga pengertian
1.    Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan yang dewasa ini yang umumnya mendesak. Sehingga arti kontekstual identik dengan situasional
2.    Pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, dan masa mendatang; dimana sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis dulu, makna fungsional saat ini, dan memprediksi makna (yang dianggap relevan) dikemudian hari.
3.    Mendudukan antara yang sentrral dan yang periferi, dalam arti yang sentral adalah teks al qur`an, dan yang periferi adalah terapannya. Selain itu juga mendudukan al qur`an sebagai sentral moralitas.
Metode kontekstual secara sebutan sial berkaitan erat dengan Hermeneutika, yang merupakan salah satu metode penafsiran teks yang dapat berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis, dan filosufis.
Jadi apabila metode ini dipertemukan dengan kajian teks al qur`an, maka persolan dani tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al qur`an hadir ditengah-tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial dewasa ini.
Pada dasarnya Hermeneutik berkaitan erat dengan bahasa, yang diungkapkan baik melalui pikiran, wacana, maupun tulisan. Dengan demikian Hermeneutik merupakan cara baru untuk bergaul dengan bahasa. Keeratan Hermeneutik dengan bahasa membuat wilayah penafsirannya menjadi sangat luas, terutama dalam kaitannya dengan ilmu humanistik, sejarah, hukum, agama ( termasuk kajian tafsir al qur`an ), filsafat, seni, kesusastraan dan linguistic Disiplin ilm,u yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi, misalnya al qur`an memerlukan interpretasi atau hermeneutic, sehingga dapat dimengerti. Metode hermeneutik yang dikembangkan oleh para mufassir kontemporer itu juga tidak seragam, namun sangat beragam. Keberagaman ini tentu saja muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, namun juga adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode yang ada.
Walhasil, bahwa diskursus para mufassir modern diarnai oleh usaha-usaha untuk membumikan al qur`an di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Mereka ingin membuktikan bahwa al qur`an benar-benaar bersifat universal dan dapat menjawab tantangan zaman. Apa yang dilakukan mufassir modern sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan sosio kultural masing-masing , dan tidak cocok dengan sosio-kultural diantara mereka. Oleh karena itu, dalam kemunculan mereka dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan munculnya mufassir-mufasir modern di tempat lainnya.
D.    Kitab-Kitab Tafsir Modern
1.    Kitab Tafsir Al-Qur an Al-Hakim (Tafsir Al-Manar), Muhammad Rasyid Ridho
2.    Kitab Tafsir Al-Maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi
3.     Kitab Mahasinu At-Ta’wil, Jamaluddin Al-Qasimi
4.    Kitab Tafsir Fii Dzilali AL-Qur an, Sayid Quthub
5.    Kitab Tafsir Al-Wadhih, Muhammad Mahmud Al-Hijazi
6.     Kitab Tafsir Al-Jawahir, Thantawi Jauhari
7.     Kitab Taisiru At-Tafsir, Abdul Jalil Isa
8.    Kitab Al-Mushhaf Al-Mufassar, Muhammad Farid Wajdi
9.     Kitab Al-Hidayah wa Al-‘Irfan, Abu Zaid Ad-Damanhuri
10.     Kitab Shafwatu Al-Bayan, Husnain Makhluf
11.     Kitab Fathu Al-Bayan, Shidiq Hasan Khan
12.     Kitab Tafsir Al-Hadits, MuhammadIzzah Darwazah
13.     Kitab Durru Al-Asrar, Mahmud Muhammad HAmzah Ad-Damasyqi
14.     Kitab At Tafsir Al-Hadits Lil Qur an, Hafidz Isa Ammar
15.     Kitab Adhwaa’u AL-Bayan, Syaikh Muhammad Asy-Syanqithi



BAB III
KESIMPULAN
  1. tafsir modern adalah; usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat al qur`an dengan tuntutan Zaman.
  2. Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting.
  3. Hermeneutika, yang merupakan salah satu metode penafsiran teks yang dapat berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis, dan filosufis.
  4. Kitab Tafsir Al-Qur an Al-Hakim (Tafsir Al-Manar), Muhammad Rasyid Ridho, Kitab Tafsir Al-Maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Kitab Mahasinu At-Ta’wil, Jamaluddin Al-Qasimi dan lain sebagainya.










HAKIKAT WALISONGO

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pada abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama di tanah Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa. Walisongo berasal dari keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain yang tidak menganut syiah.[1]
Penyebaran agama Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan penganut agama Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Zaman itu pun dikenal sebagai zaman “kewalen”. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”,

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Walisongo yang sebenarnya?
2.      Benarkah Walisongo merupakan sebuah Majlis Perkumpulan para wali?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir.[2]
Namun di sini pemakalah lebih sependapat dengan pendapat yang terakhir yang mengatakan bahwa Walisongo merupakan sebuah majlis dakwah. Tokoh-tokoh Walisongo sangatlah banyak, mereka selalu mengadakan majlis dan musyawarah untuk dakwah dan perkembangan Islam di tanah Jawa. Akan tetapi sangat disayangkan sekali, masyarakat pada umumnya hanya tahu bahwa Walisongo itu 9 tokoh wali.
B.     Priode Walisongo
Menurut KH Dachlan Abd. Qohar, pada tahun 1466 M, Walisongo melakukan sidang lagi membahas berbagai hal. Diantaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Walisongo.
1.      Walisongo Periode Pertama
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah.Pada tahun 808 Hijrah atau
1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
Maulana Ishak berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
2.      Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Ahmad berasal dari Cempa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan).
Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
Syarif Hidayatullah, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.
3.      Walisongo Periode Ketiga
Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
4.      Walisongo Periode Keempat
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
Raden atau Raden Fattah (Raden Patah)
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.
Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
5.      Walisongo Periode Kelima
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga.[3]














BAB III
KESIMPULAN
1.      Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).
2.      Benar, bahwa Walisongo merupakan Majlis Perkumpulan Para Wali di Tanah Jawa, mereka bergenerasi di setiap priode dan masa.














DAFTAR PUSTAKA
Mukhlis PaeEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Religi dan Filsafat), ( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009)
http://halaqohtdj.blogspot.co.id/2012/02/arti-walisongo-atau-walisanga.html, diakses 1 Desember 2015, Jam 7:27
http://bedahauracenter.blogspot.co.id/2011/10/walisongo.html, diakses 1 Desember 2015, jam 7:37



[1] Mukhlis PaeEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Religi dan Filsafat), ( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009), 76

Rabu, 04 November 2015

Dilalah Ghairu Wadih (YUSUF)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dinamakan dengan Dilalah Ghairu Wadih?
2.      Apa yang dimaksut dengan al-Khafi?
3.      Apa yang dimaksut dengan al- Musykil?
4.      Apa yang dimaksut dengan al-Mujmal?
5.      Apa yang dimaksut dengan al-Mutasyabih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dilalah Ghairu Wadih
Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih (Mubham al-Dilalah), Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih terbagi kepada empat bagian: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih. Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai dengan kategorinya.[1]
1.      Khafi
Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam. [2]
Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Contoh:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
lafadz (السا ر ق) As-Sariq, artinya yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya.Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan adalah macam yang samar seperti pencopet, dia adalah juga pengambil harta secara terang–terangan dengan menggunakan macam-macam keterampilan atau keahlian memainkan tangan dan keahlian menghindari pandangan mata orang di sekitarnya.
Hukum khafî yaitu wajib mengetahui makna dari lafal tersebut dengan sebuah pemikiran, perenungan, pemahaman pada faktor-faktor yang menjadi sebab tersembunyinya makna tersebut. Apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya kelebihan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus perampok yang terkait dengan pencurian diatas maka disesuaikan dengan apa yang ditunjukkan dhahir lafal tersebut. Begitu juga apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya pengurangan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus lafal nabâsy yang terkait pencurian diatas maka tidak disesuaikan dengan zhâhir lafal dan tidak berlaku hukum atasnya.[3]

2.      Musykil
Yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat diketahui kecuali dengan qarînah. Kebalikan dari musykil yaitu nash. Abu Zahrah menambahkan perbedaan antara khafî dan musykil bahwasanya khafî itu sebabnya bukan pada lafal tersebut tetapi pada penerapan atau aplikasi hukum tersebut sedangkan musykil sebabnya pada lafal itu sendiri dan tidak mungkin maknanya diketahui kecuali dengan qarînah yang menunjukkan maksud tersebut.
Contohnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya memiliki dua ma'na; Suci atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat. Diantaraya Imam Syafii dan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru' sebagi Thaharah. sedangkan menurut Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil.
Hukum musykil adalah Wajib mengkaji serta menela'ah lafadz musykil untuk mengetahui maksud serta ma'na lafdz tersebut serta mengamalkanya, sesuai dengan perbandingan keterangan serta dalil-dalil yang menyertainya.
3.      Mujmal
Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak dipahami kecuali dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan akal. Lafal ini kebalikan dari mufassar. Terdapat juga definisi yang lain yaitu lafal yang maknanya tersembunyi karena banyaknya makna dan tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan.[4]
Lafal mujmal ini lebih samar dibandingkan dengan lafal sebelumnya karena dari segi shîghah-nya saja tidak menunjukkan arti yang dimaksud dan tidak ada pula qarînah yang dapat menjelaskan maksud tersebut.
Contoh
Setidaknya ada dua sebab lafal tersebut merupakan lafal mujmal.
a. Lafal-lafal yang asing.
Misal lafal (الهلوع) dalam firman Allah pada surat Al-Ma’ârij
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً (21(
Artinya : “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20) dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (21).”
Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (الهلوع) yang tidak dapat dipahami karena termasuk lafal asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.[5]
b. Pemalingan dari makna lughâwî (etimologi) ke makna ishthilâhî (terminologi)
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan dari makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam menentukan maksud tersebut maka tidak boleh mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan dari syâri’. Jika penjelasan tersebut sempurna dan jelas maka lafal hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan hukumnya berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak sempurna dan adanya kesamaran maka berpindah ke hukum musykil.
4.      Mutasyabihat
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah  lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighat-nya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
a)      Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan surat dalam alqur’an.
b)      Ayat-ayat yang menurut dzahir-nya mempersamakan Allah yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak terang ) artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam kelompok yang terang artinya lafadz muhkam berada dalam tingkat atas dari segi kejelasannya. Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i), sedangkan lafadz yang mutasyabih dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan (dzanni).[6]
Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:
طه,   ص,   حم
يدالله فوق ايديهم
“ Tangan Allah diatastanganmereka “.( Q.S.Al-fath :10)

Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang terdapat pada beberapa permulaan surat ( di  dalam al-qur’an ) itu sendiri tidak menunjukkan artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki dari padanya.  Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu pula ayat-ayat yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya, dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah Maha Suci dari ( mempunyai ) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.

BAB III
KESIMPULAN
1.      Dilalah Ghairu Wadih (Mubham al-Dilalah), Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya.
2.      Al-Khafi adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.
3.      Musykil yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat diketahui kecuali dengan qarînah.
4.      Mujmal ialah Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak dipahami kecuali dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan akal.
5.      Mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.



[2] Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), h.  298
[3] https://repenttoallah.wordpress.com/2015/03/26/khafi-musykil-mujmal-dan-mutasyabih-2/ 16-10-2015 (08-07)
[5] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushûl al-Fîqh, Dar al-Hadits, Kairo, tc., 2003, hal. 161
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 22