Muhammad Yusuf
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dinamakan dengan Dilalah Ghairu Wadih?
2.
Apa yang dimaksut dengan al-Khafi?
3.
Apa yang dimaksut dengan al- Musykil?
4.
Apa yang dimaksut dengan al-Mujmal?
5.
Apa yang dimaksut dengan al-Mutasyabih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dilalah Ghairu Wadih
Para ahli ushul
mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih (Mubham al-Dilalah), Setiap
Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu
Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui
perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih
terbagi kepada empat bagian: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda
sesuai dengan kategorinya.[1]
1.
Khafi
Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang
dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu
kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan
untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir
secara mendalam. [2]
Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadznya
menunjukkan arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian
yang lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran
itu diperlukan penalaran dan takwil.
Contoh:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
lafadz (السا ر ق) As-Sariq, artinya yaitu pengambil
harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat
penyimpanannya.Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa
satuan adalah macam yang samar seperti pencopet, dia adalah juga pengambil harta
secara terang–terangan dengan menggunakan macam-macam keterampilan atau keahlian
memainkan tangan dan keahlian menghindari pandangan mata orang di sekitarnya.
Hukum khafî yaitu wajib mengetahui makna dari lafal tersebut dengan
sebuah pemikiran, perenungan, pemahaman pada faktor-faktor yang menjadi sebab
tersembunyinya makna tersebut. Apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya
kelebihan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus perampok yang terkait
dengan pencurian diatas maka disesuaikan dengan apa yang ditunjukkan dhahir
lafal tersebut. Begitu juga apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya
pengurangan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus lafal nabâsy yang
terkait pencurian diatas maka tidak disesuaikan dengan zhâhir lafal dan tidak
berlaku hukum atasnya.[3]
2.
Musykil
Yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu
sendiri dan tidak dapat diketahui kecuali dengan qarînah. Kebalikan dari
musykil yaitu nash. Abu Zahrah menambahkan perbedaan antara khafî
dan musykil bahwasanya khafî itu sebabnya bukan pada lafal
tersebut tetapi pada penerapan atau aplikasi hukum tersebut sedangkan musykil
sebabnya pada lafal itu sendiri dan tidak mungkin maknanya diketahui kecuali
dengan qarînah yang menunjukkan maksud tersebut.
Contohnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
lafadz Quru'
dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya
memiliki dua ma'na; Suci atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat.
Diantaraya Imam Syafii dan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru' sebagi
Thaharah. sedangkan menurut Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil.
Hukum musykil
adalah Wajib mengkaji serta menela'ah lafadz musykil untuk mengetahui
maksud serta ma'na lafdz tersebut serta mengamalkanya, sesuai dengan
perbandingan keterangan serta dalil-dalil yang menyertainya.
3. Mujmal
Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak dipahami
kecuali dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan akal.
Lafal ini kebalikan dari mufassar. Terdapat juga definisi yang lain
yaitu lafal yang maknanya tersembunyi karena banyaknya makna dan tidak dapat
diketahui kecuali dengan penjelasan.[4]
Lafal mujmal ini
lebih samar dibandingkan dengan lafal sebelumnya karena dari segi shîghah-nya
saja tidak menunjukkan arti yang dimaksud dan tidak ada pula qarînah yang dapat
menjelaskan maksud tersebut.
Contoh
Setidaknya ada dua sebab lafal tersebut merupakan lafal mujmal.
a. Lafal-lafal yang asing.
Misal lafal (الهلوع) dalam firman Allah pada surat Al-Ma’ârij
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً (19) إِذَا مَسَّهُ
الشَّرُّ جَزُوعاً (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً (21(
Artinya : “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir (19) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20) dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir (21).”
Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (الهلوع)
yang tidak dapat dipahami karena termasuk lafal asing sehingga Allah
menjelaskan dengan ayat selanjutnya.[5]
b. Pemalingan dari makna lughâwî (etimologi) ke makna ishthilâhî
(terminologi)
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan
dari makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak
diketahui melalui aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw.
Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam
menentukan maksud tersebut maka tidak boleh mengamalkannya kecuali jika ada
penjelasan dari syâri’. Jika penjelasan tersebut sempurna dan jelas maka
lafal hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan hukumnya
berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut
tidak sempurna dan adanya kesamaran maka berpindah ke hukum musykil.
4. Mutasyabihat
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan
pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz
mutasyabih adalah lafadz yang
samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighat-nya
sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang
akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut
tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu
kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan
dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
a) Dalam bentuk potongan
huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan surat dalam
alqur’an.
b) Ayat-ayat yang menurut dzahir-nya
mempersamakan Allah yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak
mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak
terang ) artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam
kelompok yang terang artinya lafadz muhkam berada dalam tingkat atas dari segi
kejelasannya. Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an
pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i), sedangkan lafadz yang mutasyabih
dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan
(dzanni).[6]
Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:
طه, ص, حم
يدالله فوق ايديهم
“ Tangan Allah diatastanganmereka “.( Q.S.Al-fath :10)
Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang terdapat pada beberapa permulaan
surat ( di dalam al-qur’an ) itu sendiri tidak menunjukkan artinya. Dan Allah SWT.
Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki dari padanya.
Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu pula ayat-ayat yang dzahirnya
menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya, dan tidak dapat dipahami
menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah Maha Suci dari (
mempunyai ) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai
makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak
menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat
ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka
menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan
mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Dilalah Ghairu
Wadih (Mubham
al-Dilalah), Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut
melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat
diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya.
2. Al-Khafi
adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk
menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang
samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu
diperlukan upaya berfikir secara mendalam.
3. Musykil yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu
sendiri dan tidak dapat diketahui kecuali dengan qarînah.
4. Mujmal ialah Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak
dipahami kecuali dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan
akal.
5. Mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung
beberapa persamaan.
[2] Abdul Wahab
Khalaf, Alih Bahasa Masdar Helmy, Ilmu
Ushulul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), h. 298
[3]
https://repenttoallah.wordpress.com/2015/03/26/khafi-musykil-mujmal-dan-mutasyabih-2/
16-10-2015 (08-07)
[4] https://repenttoallah.wordpress.com/2015/03/26/khafi-musykil-mujmal-dan-mutasyabih-2/ 16-10-2015 (08-07)
[6] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 22