Jumat, 23 Oktober 2015

Dilalah Ghairu Wadih



Muhammad Yusuf
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dinamakan dengan Dilalah Ghairu Wadih?
2.      Apa yang dimaksut dengan al-Khafi?
3.      Apa yang dimaksut dengan al- Musykil?
4.      Apa yang dimaksut dengan al-Mujmal?
5.      Apa yang dimaksut dengan al-Mutasyabih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dilalah Ghairu Wadih
Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih (Mubham al-Dilalah), Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih terbagi kepada empat bagian: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih. Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai dengan kategorinya.[1]
1.      Khafi
Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam. [2]
Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Contoh:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
lafadz (السا ر ق) As-Sariq, artinya yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya.Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan adalah macam yang samar seperti pencopet, dia adalah juga pengambil harta secara terang–terangan dengan menggunakan macam-macam keterampilan atau keahlian memainkan tangan dan keahlian menghindari pandangan mata orang di sekitarnya.
Hukum khafî yaitu wajib mengetahui makna dari lafal tersebut dengan sebuah pemikiran, perenungan, pemahaman pada faktor-faktor yang menjadi sebab tersembunyinya makna tersebut. Apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya kelebihan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus perampok yang terkait dengan pencurian diatas maka disesuaikan dengan apa yang ditunjukkan dhahir lafal tersebut. Begitu juga apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya pengurangan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus lafal nabâsy yang terkait pencurian diatas maka tidak disesuaikan dengan zhâhir lafal dan tidak berlaku hukum atasnya.[3]

2.      Musykil
Yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat diketahui kecuali dengan qarînah. Kebalikan dari musykil yaitu nash. Abu Zahrah menambahkan perbedaan antara khafî dan musykil bahwasanya khafî itu sebabnya bukan pada lafal tersebut tetapi pada penerapan atau aplikasi hukum tersebut sedangkan musykil sebabnya pada lafal itu sendiri dan tidak mungkin maknanya diketahui kecuali dengan qarînah yang menunjukkan maksud tersebut.
Contohnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya memiliki dua ma'na; Suci atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat. Diantaraya Imam Syafii dan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru' sebagi Thaharah. sedangkan menurut Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil.
Hukum musykil adalah Wajib mengkaji serta menela'ah lafadz musykil untuk mengetahui maksud serta ma'na lafdz tersebut serta mengamalkanya, sesuai dengan perbandingan keterangan serta dalil-dalil yang menyertainya.
3.      Mujmal
Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak dipahami kecuali dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan akal. Lafal ini kebalikan dari mufassar. Terdapat juga definisi yang lain yaitu lafal yang maknanya tersembunyi karena banyaknya makna dan tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan.[4]
Lafal mujmal ini lebih samar dibandingkan dengan lafal sebelumnya karena dari segi shîghah-nya saja tidak menunjukkan arti yang dimaksud dan tidak ada pula qarînah yang dapat menjelaskan maksud tersebut.
Contoh
Setidaknya ada dua sebab lafal tersebut merupakan lafal mujmal.
a. Lafal-lafal yang asing.
Misal lafal (الهلوع) dalam firman Allah pada surat Al-Ma’ârij
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً (21(
Artinya : “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20) dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (21).”
Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (الهلوع) yang tidak dapat dipahami karena termasuk lafal asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.[5]
b. Pemalingan dari makna lughâwî (etimologi) ke makna ishthilâhî (terminologi)
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan dari makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam menentukan maksud tersebut maka tidak boleh mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan dari syâri’. Jika penjelasan tersebut sempurna dan jelas maka lafal hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan hukumnya berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak sempurna dan adanya kesamaran maka berpindah ke hukum musykil.
4.      Mutasyabihat
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah  lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighat-nya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
a)      Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan surat dalam alqur’an.
b)      Ayat-ayat yang menurut dzahir-nya mempersamakan Allah yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak terang ) artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam kelompok yang terang artinya lafadz muhkam berada dalam tingkat atas dari segi kejelasannya. Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i), sedangkan lafadz yang mutasyabih dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan (dzanni).[6]
Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:
طه,   ص,   حم
يدالله فوق ايديهم
“ Tangan Allah diatastanganmereka “.( Q.S.Al-fath :10)

Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang terdapat pada beberapa permulaan surat ( di  dalam al-qur’an ) itu sendiri tidak menunjukkan artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki dari padanya.  Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu pula ayat-ayat yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya, dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah Maha Suci dari ( mempunyai ) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.

BAB III
KESIMPULAN
1.      Dilalah Ghairu Wadih (Mubham al-Dilalah), Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya.
2.      Al-Khafi adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.
3.      Musykil yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat diketahui kecuali dengan qarînah.
4.      Mujmal ialah Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak dipahami kecuali dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan akal.
5.      Mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.


[2] Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), h.  298
[3] https://repenttoallah.wordpress.com/2015/03/26/khafi-musykil-mujmal-dan-mutasyabih-2/ 16-10-2015 (08-07)
[5] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushûl al-Fîqh, Dar al-Hadits, Kairo, tc., 2003, hal. 161
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 22

Selasa, 20 Oktober 2015

Macam-macam Tafsir ditinjau dari coraknya



Macam-macam Tafsir ditinjau dari coraknya
Oleh: Muhammad Yusuf
Nimko: Nimko : 2013.4.121.0034.000008
A.    Pengertian Corak
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna ) pada kain( tenunan, anyaman dsb), Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat( faham, macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut potongan ulasan beliau (وعن ألوان التفسير فى هذا العصر الحديث….) (Tentang corak-corak penafsiran di abad modern.
            Adapun tafsir menurut Istilah adalah:
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه.
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum –hukumnya dan hikmah-hikmahnya.

Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir .[1]

B.     Macam-Macam Corak Tafsir
Sebenarnya macam-macam corak tafsir itu banyak meliputi: corak sastra bahasa, corak filsafat, corak teologi, corak penafsiran ilmiah, corak  fiqih  atau  hukum, corak tasawuf,  dan corak sastra budaya. Namun dalam makalah ini kami hanya menyebutkan lima corak saja, adapun penjelasanya akan diterangkan di bawah ini.
1.      Tafsir bercorak sufi
Tafsir bercorak sufi ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.[2]
Sedangkan tasawuf sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
a)      Tasawuf  teoritis, yakni tasawuf yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi yang mendalam. Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur`an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta`wilkan ayat al-Qur`an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Beberapa tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur`an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”.
b)      Tasawuf  praktis, yakni tasawuf yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup zuhud dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah. Mereka benar-benar menerapkan sikap di atas untuk hidup, mereka  bersikap zuhud di alam kehidupan dunia dan selalu bersiap diri menghadapi kehidupan di akhirat.
Perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur`an kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur`an melalui sumber-sumber Islam yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin.[3]
Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1)      Tafsir Sufi Isyari, yaitu penafsiran al-Qur`an dalam bentuk ta`wil, yakni penafsiran yang bersifat batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan lahiriah.
2)      Tafsir Sufi Nadzarî, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan dalam penafsiran al-Qur`an. Sedangkan Tafsir Sûfî Isyârî tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyâdhah rûhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Salah satu contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah:
a.       Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, karya Sahl al-Tustarî (w.283 H).
b.      Haqâ’iq al-Tafsīr,  karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamî (w.412 H).
c.       Lathâ’if al-Isyârah,  karya al-Qusyairi, dan
d.       ‘Arâ’is al-Bayân fī Haqâ’iq al-Qur`ân,  karya al-Syirazî (w.606).[4]
2.      Tafsir Fiqih
Corak Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang menitik beratkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.[5]
Setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin (pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin.
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
3.      Tafsir Falsafi
Tafsir bercorak falsafî ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat. Dalam melakukan tafsir Falsafî, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama dengan Metode ta`wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan yang kedua dengan Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafî  berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan para ahli falsafî, seperti tafsir bi al-Ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai sebuah pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang tertuju pada  ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabî, ibn Sinâ, dan Ikhwân al-Shafâ. Menurut Al-Dzahabî, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur`an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir  falsafî  yang cenderung hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi makna-makna yang tersembunyi,  yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa. 
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir  falsafî  ideal, sebuah konsep tafsir  falsafî yang  kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga  memberikan  perhatian  pada  realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur`an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.
Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Mafâtih Al-Ghâib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), al-Isyârat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Rasail Ibn Sinâ, karya Ibn Sinâ (w. 370 H).[6]
4.      Tafsir Ilmi
Tafsii ‘Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al qur’an berdasarkan pendekatan Ilmiyah atau menggali kandungan al qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang berfikir.”.
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini. Ada beberapa ulama yang menolak adanya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah, terutama penafsiran model al-Fakhr al-Raziy dan Thanthawi Jawhari karena dianggap terlalu berlebihan dalam penafsiran ilmiah dan terkesan memaksakan diri membuat kaitan antara ayat-ayat al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
5.      Tafsir Adabi wa Ijtima’i
Tafsir ini adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha memahami teks al-Qur`an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur`an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur`an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.
Metode Adabî  Ijtimâ’î dalam segi  keindahan (balâghah) bahasa dan kemu’jizatan al-Qur`an, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh al-Qur`an, berupaya mengungkapkan betapa al-Qur`an itu mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran al-Qur`an dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa al-Qur`an itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur`an dengan argumen-argumen yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan al-Qur`an terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan al-Qur`an sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Kitab Tafsir Corak Adabî  Ijtimâ’î menginginkan penafsiran  al-Qur`an kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qur`ani sebagai jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara al-Qur`an dan Sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh Islam, dengan motivasi lebih menegaskan I’jâz Ilmî al-Qur`an. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke-19 dan 20.
Tokoh utama corak  adabî ijtimâ’î  ini  adalah  Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridhâ, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun.[7] Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya.
1)      Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2)      Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M).
3)      Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut.
4)      Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.



Kesimpulan
1.      Yang dinamakan corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an.
2.      Macam-macam corak tafsir itu antara lain; corak filsafat, corak penafsiran ilmiah, corak  fiqih  atau  hukum, corak tasawuf,  dan corak sastra budaya.
                                                     


[2] Abd. Kholid, Kuliah Madzâhib al-Tafsir. (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003),  h. 56.
[3] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2005). h, 386
[4] Abd. Al-hay Al Farmawî, Metode Tafsir Mawdhû’î, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 18
[6] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005) h, 170
[7] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,.  h. 174