Macam-macam Tafsir ditinjau dari coraknya
Oleh: Muhammad Yusuf
Nimko: Nimko :
2013.4.121.0034.000008
A.
Pengertian Corak
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna.
Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna -warna ) pada
kain( tenunan, anyaman dsb), Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna
dasar, juga berarti sifat( faham, macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam
literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata
al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby
dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut potongan ulasan beliau (وعن ألوان التفسير فى هذا العصر الحديث….) (Tentang corak-corak penafsiran di abad
modern.
Adapun tafsir menurut Istilah adalah:
التفسير
علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه
واستخراج أحكامه وحكمه.
Tafsir adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang di turunkan
kepada nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum
–hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi, corak
tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan
salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia
menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran
atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir .[1]
B.
Macam-Macam Corak Tafsir
Sebenarnya
macam-macam corak tafsir itu banyak meliputi: corak sastra bahasa, corak filsafat, corak teologi, corak penafsiran
ilmiah, corak fiqih atau
hukum, corak tasawuf, dan corak
sastra budaya. Namun dalam makalah ini kami hanya menyebutkan lima corak saja,
adapun penjelasanya akan diterangkan di bawah ini.
1.
Tafsir bercorak sufi
Tafsir bercorak
sufi ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa
yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.[2]
Sedangkan
tasawuf sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
a)
Tasawuf teoritis, yakni
tasawuf yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi yang mendalam. Dari
kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk
meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur`an dengan sudut pandang
sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta`wilkan ayat-ayat
al-Qur`an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta`wilkan ayat al-Qur`an
dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual
yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya
dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat. Mereka berkeyakinan bahwa
pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin,
bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan
aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara
keseluruhan. Beberapa tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, Lebih jauh
Al-Alusy berkata: “Tidaklah sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas
dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur`an mempunyai
bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha
Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”.
b)
Tasawuf praktis, yakni
tasawuf yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup zuhud dalam rangka melaksanakan
ketaatan kepada Allah. Mereka benar-benar menerapkan sikap di atas untuk hidup,
mereka bersikap zuhud di alam kehidupan
dunia dan selalu bersiap diri menghadapi kehidupan di akhirat.
Perkembangan
pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila
corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal
sejak awal turunnya al-Qur`an kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang
dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur`an
melalui sumber-sumber Islam yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan
pendapat kalangan Tabiin.[3]
Dalam perjalanannya,
tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1)
Tafsir Sufi Isyari, yaitu penafsiran al-Qur`an dalam bentuk ta`wil,
yakni penafsiran yang bersifat batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya
ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan
lahiriah.
2)
Tafsir Sufi Nadzarî, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis
ilmiah yang diterapkan dalam penafsiran al-Qur`an. Sedangkan Tafsir Sûfî Isyârî
tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyâdhah
rûhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia
mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Salah satu
contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah:
a.
Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, karya Sahl al-Tustarî (w.283 H).
b.
Haqâ’iq al-Tafsīr, karya Abu
Abd al-Rahman al-Sulamî (w.412 H).
c.
Lathâ’if al-Isyârah, karya
al-Qusyairi, dan
d.
‘Arâ’is al-Bayân fī Haqâ’iq
al-Qur`ân, karya al-Syirazî (w.606).[4]
2.
Tafsir Fiqih
Corak Tafsir
Fiqhi
adalah corak tafsir yang menitik beratkan kepada pembahasan masalah-masalah
fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan
pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini
juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada
ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer
dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum
dalam Al Qur’an. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah
Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.[5]
Setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian
periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada
periode mereka ini dinamakan periode tadwin (pengodifikasian). Seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya tafsirpun terus
berkembang sampai periode mutakhirin.
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran
karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543
H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
3. Tafsir Falsafi
Tafsir bercorak falsafî ialah kecenderungan tafsir dengan
menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir dengan dominasi filsafat sebagai
pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi
tentang teori-teori filsafat. Dalam melakukan tafsir Falsafî, dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama dengan Metode ta`wil atas teks-teks
agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan
yang kedua dengan Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya
berdasarkan pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafî berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an
berdasarkan pemikiran atau pandangan para ahli falsafî, seperti
tafsir bi al-Ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai
sebuah pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang tertuju pada ayat. Seperti tafsir yang dilakukan
al-Farabî, ibn Sinâ, dan Ikhwân al-Shafâ. Menurut Al-Dzahabî, tafsir mereka ini di tolak dan di
anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur`an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama,
kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam
pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Sejarah telah mencatat
perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan
manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir
yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafî
yang cenderung hanya berdasarkan logika dan karena peran logika
begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas
kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya
membangun abstraksi makna-makna yang tersembunyi, yang diangkat dari teks kitab suci untuk
dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan
budaya dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita
mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir
falsafî ideal, sebuah
konsep tafsir falsafî yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan
interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga
memberikan perhatian pada
realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks
al-Qur`an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia
diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan
proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.
Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Mafâtih Al-Ghâib,
karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), al-Isyârat, karya Imam al-Ghazali
(w. 505 H), Rasail Ibn Sinâ, karya Ibn Sinâ (w. 370 H).[6]
4. Tafsir Ilmi
Tafsii ‘Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al qur’an berdasarkan pendekatan
Ilmiyah atau menggali kandungan al qur’an berdasarkan teori-teori ilmu
pengetahuan. Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan
al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang
didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan
al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga
banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah
kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan
ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum
yang berfikir.”.
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir
al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi
Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’
‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan
karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini. Ada
beberapa ulama yang menolak adanya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah, terutama
penafsiran model al-Fakhr al-Raziy dan Thanthawi Jawhari karena dianggap
terlalu berlebihan dalam penafsiran ilmiah dan terkesan memaksakan diri membuat
kaitan antara ayat-ayat al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
5. Tafsir Adabi wa
Ijtima’i
Tafsir ini adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan
sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang
berkaitan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung.
Corak tafsir ini berusaha memahami teks al-Qur`an dengan cara, pertama dan
utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur`an secara teliti, selanjutnya
menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur`an tersebut dengan gaya
bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an
yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi,
dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu
dan hanya sebatas kebutuhan.
Metode Adabî Ijtimâ’î dalam
segi keindahan (balâghah) bahasa
dan kemu’jizatan al-Qur`an, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju
oleh al-Qur`an, berupaya mengungkapkan betapa al-Qur`an itu mengandung
hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan
ajaran Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan
akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran al-Qur`an dan teori-teori
ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa al-Qur`an itu
adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman
dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala
kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur`an dengan
argumen-argumen yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang
kebatilan itu pasti lenyap.
Tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran
yang seolah-olah menjadikan al-Qur`an terlepas dari akar sejarah kehidupan
manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan
al-Qur`an sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Kitab Tafsir Corak Adabî
Ijtimâ’î menginginkan penafsiran
al-Qur`an kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qur`ani
sebagai jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya
mempertemukan antara al-Qur`an dan Sains modern yang selalu berkembang dengan
cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh Islam, dengan motivasi lebih
menegaskan I’jâz Ilmî al-Qur`an. Dalam bidang kemasyarakatan dan
politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang terbit
pada abad ke-19 dan 20.
Tokoh utama corak adabî ijtimâ’î ini adalah
Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya
Rasyid Ridhâ, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun.[7] Selanjutnya yang masih
menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini
bersama karya-karya tafsirnya.
1) Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2) Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M).
3) Tafsir Al-Qur'an
Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud
Syaltut.
4) Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
Kesimpulan
1.
Yang dinamakan corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang
mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual
seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an.
2.
Macam-macam corak tafsir itu antara lain; corak
filsafat, corak penafsiran ilmiah, corak
fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar