BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa
ke masa mengalami perkembang yang sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa
keemasan. Setelah masa Rasulullah SAW dan sahabat berakhir maka tafsir kemudian
dipegang dan dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang mulia
yang dilakukan oleh para sahabat tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal
menafsirkan al-Qur’an. Tegasnya, penafsiran al-Qur’an dari para sahabat
diterima baik oleh generasi Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu
dapat kita jumpai banyak sekali pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal
kesungguhannya dalam berijtihad untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat
tertentu. Penafsiran ini terus berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya
timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh
para ahli tafsir. Seperti timbulnya tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi,
dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada perbedaan corak dalam
penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang
memungkinkan adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
perkembangan tafsir di masa tabi’in?
2. Bagaimana
kualitas tafsir pada masa tersebut?
3. Siapa
saja yang termasuk mufassir pada masa tabi’in?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Tafsir Pada Masa Tabi’in
Membicarakan sejarah tafsir pada masa
ini berarti memulai pembahasannya dari tahun 21 H dengan ditandai kelahiran
seorang tokoh mufassir besar yaitu Mujahid bin Jabir, hingga kira-kira
pada tahun 159 H yang ditandai wafatnya seorang mufassir yaitu Hasan
al-Bashri. Pada masa ini, masih dikategorikan sebagai periode pertama dari
perkembangan tafsir. Sejak kegiatan penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat
hingga sampai kepada penafsiran tabi’in.[1]
Kurang lebih seratus tiga puluh delapan
tahun penafsiran di masa tabi’in ini semakin menampakkan perkembangannya.
Terbukti bahwa banyak dikalangan mufassir pada masa ini terlahirkan.
Misalnya Mujahid bin Jabir, yang digadang-gadang sebagai mufassir yang
sangat diperhitungkan penafsirannya, baik penafsirannya itu sendiri maupun
riwayat penafsirannya, serta menjadi pusat sandaran bagi murid-murid
selanjunya. Selain itu, ada lagi mufassir lain pada masa ini yang
terkenal ketokohannya, baik dari Makkah seperti Said
bin Zubair yang berguru pada Ibn ‘Abbas, dari Madinah yaitu Muhammad
bin Ka’ab, Zaid bin Aslam yang berguru pada Ubay bin Ka’ab dan dari Irak
seperti Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi yang berguru pada Abdullah bin
Mas’ud.
Jika dilihat dari model penafsirannya,
para tabi’in mengacu pada sumber-sumber yang sudah ada pada pendahulunya,
disamping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Dikatakan demikian
karena mereka meggunakan metode bil ma’tsur yaitu penafsiran diambil
dari al-Qur’an itu sendiri dan sunnah Nabi serta kadangkala mereka menukil dari
pendapat para pendahulunya. Jika mereka tidak menemukan tafsir dengan metode
ini, maka mereka mencendrungkan dirinya untuk berijtihad, mengingat mereka
adalah orang-orang Arab asli yang menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan
baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya.
Menurut Muhammad Arkoun yang dikutip
pendapatnya oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya “Epistimologi Tafsir
Kontemporer”, mengatakan bahwa pada masa ini lebih dikenal sebagi Tafsir
Era Formatif dengan Nalar Qoasi-Kritis, yaitu mufassir yang menggunakan
sebuah model atau cara berfikir yang kurang memaksimalkan penggunaan rasio (ra’yi)
dalam menafsirkan al-Qur’an dan juga belum mengemukanya budaya kritisisme.[2]
Model berfikir nalar quasi-kritis antara
lain ditandai dengan; pertama, penggunaan simbol-simbol tokoh untuk mengatasi
persoalan. Dalam konteks penafsiran, simbol tokoh seperti nabi dan para sahabat
cenderung dijadikan sebagai rujukan utama dalam penafsiran al-Qur’an. Standar
kebenarannya pun ditentukan oleh ketokohan orang-orang tersebut. Kedua,
cenderung kurang kritis dalam menerima produk penafsiaran; menghindari hal yang
konkret-realistis dan berpegang pada hal-hal yang abstrak –metafisis. Dalam
konteks penafsiran, al-Qur’an cendrung diposisikan sebagai objek. Dengan kata
lain, posisi teks menjadi sentral sehingga model berfikir induktif. Oleh karena
itu tidak mengherankan jika pada era ini yang dominan adalah model tafsir bi
ar-riwayah, sedangkan tafsir bi ar-ra’yi cenderung dihindari dan
bahkan dicurigai.[3]
Jika mereka tidak menemukan riwayat,
maka metode yang mereka tempuh kemudian adalah menafsirkan ayat dengan ayat
lainnya. Sebab ada keyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu saling menafsirkan
satu dengan lainnya (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan).[4]
Itulah yang kemudian lahir sebuah metode yang dikenal sebagai metode mawdhu’i
(tematik) yang kemudian secara metodologis dirumuskan oleh para mufassir
era belakangan, seperti Al-Farmawi, Hassan Hanafi dan juga Fazlur Rahman.
Hal yang membedakan penafsiran pada masa
tabi’in ini barang kali hanya pada persoalan sektarianisme, yaitu mulai
munculnya aliran-aliran tafsir berdasarkan kawasan. Itu disebabkan karena para mufassir
dari para tabi’in yang dahulu berguru kepada para sahabat kemudian menyebar ke
beberapa daerah.
Sudah disinggung di atas bahwa, paling
tidak ada tiga aliran panafsiran yang menonjol di era tabi’in; pertama, aliran
Makkah, yang dipelopori oleh Said bin Jubair (w. 712 M.), Ikrimah (w. 723 M.),
dan Mujahid bin Jabir (w. 722 M.). Mereka berguru kepada sahabat Ibnu ‘Abbas.
Kedua, aliran Madinah, yang dipelopori oleh Muhammad bin Ka’b (w. 735 M.), Zaid
bin Aslam al-Qurazhi (w. 735 M.), dan
Abu ‘Aliyah (w. 708 M.). Mereka berguru kepada sahabat Ubay bin Ka’b. Ketiga,
aliran Irak, di mana tokoh-tokohnya adalah ‘Alqamah ibn Qays (w. 720 M.), Amir
asy-Sa’bi (w. 723 M.), Hasan al-Bashri (w. 738 M.) dan Qatadah ibn Di’amah
as-Sadusi (w. 735 M.). Mereka berguru kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud.
Sementara itu, ada pula ulama yang menambahkan satu aliran lagi dalam tafsir
tabi’in, yaitu aliran Bashrah, yang dipelopori oleh Ibn Sirrin, Jabir bin Zayd
al-Azdi, dan Abu Sya’sya’.[5]
Menurut sebagian pengamat sejarah tafsir
pada masa tabi’in, penafsiran al-Qur’an aliran Makkah dan Madinah cenderung
bercorak tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan
aliran Irak cenderung bercorak rasional sehinga memunculkan model tafsir bi
ar-ra’yi. Hal ini boleh jadi karena kondisi geografis Irak yang cukup jauh
dari Madinah (sebagai pusat studi hadits) sehingga mereka cenderung menggunakan
ijtihad ketika tidak ditemukan riwayat. Selain itu, secara politis, tradisi
penafsiran yang cenderung rasional itu mendapat dukungan dari Guberbur ‘Ammar
ibn Yasir yang diangkat oleh Khalifah Umar ibn Khaththab. Dia adalah seorang
sahabat yang “rasional”.[6]
2. Kualitas Tafsir Pada Masa Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat tentang
kualitas tafsir tabi’in jika tafsir tersebut bersifat independen, tidak
diriwayatkan dari Rasulullah atau para sahabat, apakah pendapat mereka dapat
dipegangi atau tidak?
Segolongan ulama berpendapat, tafsir
mereka tidak (harus) dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan
peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat
al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang
dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat, tafsir mereka dapat
dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[7]
Pendapat yang kuat adalah jika para
tabi’in sepakat atas suatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak
boleh meninggalkannya untuk mengambil jalan yang lain.
Ibnu Taimiyah menukil pendapat, Syu’bah
bin Al-Hajjaj dan lainnya katanya, “pendapat para tabi’in itu bukan hujjah”.
Maka bagaimana pula pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang
tafsir? Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain
yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika
mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu
merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat
sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan tabi’in sendiri maupun
bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan
kepada bahasa al-Qur’an, Sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat
tentang hal tersebut.[8]
3. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in
Seperti halnya pada masa sahabat telah
ada para ahli tafsir seperti, empat kholifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu abbas, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya, begitu juga pada masa
Tabi’in. Banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Di bawah ini mereka
Tabi’in yang ahli tafsir al-Qur’an yang tentunya telah begitu besar pengorbanannya
dalam mengembangkan ilmu tafsir pada saat itu, mereka adalah :
a) Muhammad
bin Ka’ab
b) Abil
‘Aliyah
c) Hasan
Bashri
d) Qatadah
e) Al
Rabi’in Anas
f) Ad
Dhahhak bin Muzaahim,
g) Imam
Abu Malik
h) Dan
lain-lain
Mereka itulah para ulama ahli tafsir di
masa sesudah para sahabat Nabi Muhammad saw dan mereka itulah oleh para ulama
Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi bahan rujukan pada
masa-masa selanjutnya.
Boong kali
BalasHapus