Rabu, 04 November 2015

TAFSIR PADA MASA TABI'IN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa mengalami perkembang yang sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa keemasan. Setelah masa Rasulullah SAW dan sahabat berakhir maka tafsir kemudian dipegang dan dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang mulia yang dilakukan oleh para sahabat tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan al-Qur’an. Tegasnya, penafsiran al-Qur’an dari para sahabat diterima baik oleh generasi Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti timbulnya tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi, dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
A.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan tafsir di masa tabi’in?
2.      Bagaimana kualitas tafsir pada masa tersebut?
3.      Siapa saja yang termasuk mufassir pada masa tabi’in?


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Tafsir Pada Masa Tabi’in
Membicarakan sejarah tafsir pada masa ini berarti memulai pembahasannya dari tahun 21 H dengan ditandai kelahiran seorang tokoh mufassir besar yaitu Mujahid bin Jabir, hingga kira-kira pada tahun 159 H yang ditandai wafatnya seorang mufassir yaitu Hasan al-Bashri. Pada masa ini, masih dikategorikan sebagai periode pertama dari perkembangan tafsir. Sejak kegiatan penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat hingga sampai kepada penafsiran tabi’in.[1]
Kurang lebih seratus tiga puluh delapan tahun penafsiran di masa tabi’in ini semakin menampakkan perkembangannya. Terbukti bahwa banyak dikalangan mufassir pada masa ini terlahirkan. Misalnya Mujahid bin Jabir, yang digadang-gadang sebagai mufassir yang sangat diperhitungkan penafsirannya, baik penafsirannya itu sendiri maupun riwayat penafsirannya, serta menjadi pusat sandaran bagi murid-murid selanjunya. Selain itu, ada lagi mufassir lain pada masa ini yang terkenal ketokohannya, baik dari Makkah seperti Said bin Zubair yang berguru pada Ibn ‘Abbas, dari Madinah yaitu Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam yang berguru pada Ubay bin Ka’ab dan dari Irak seperti Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi yang berguru pada Abdullah bin Mas’ud.
Jika dilihat dari model penafsirannya, para tabi’in mengacu pada sumber-sumber yang sudah ada pada pendahulunya, disamping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Dikatakan demikian karena mereka meggunakan metode bil ma’tsur yaitu penafsiran diambil dari al-Qur’an itu sendiri dan sunnah Nabi serta kadangkala mereka menukil dari pendapat para pendahulunya. Jika mereka tidak menemukan tafsir dengan metode ini, maka mereka mencendrungkan dirinya untuk berijtihad, mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya.
Menurut Muhammad Arkoun yang dikutip pendapatnya oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya “Epistimologi Tafsir Kontemporer”, mengatakan bahwa pada masa ini lebih dikenal sebagi Tafsir Era Formatif dengan Nalar Qoasi-Kritis, yaitu mufassir yang menggunakan sebuah model atau cara berfikir yang kurang memaksimalkan penggunaan rasio (ra’yi) dalam menafsirkan al-Qur’an dan juga belum mengemukanya budaya kritisisme.[2]
Model berfikir nalar quasi-kritis antara lain ditandai dengan; pertama, penggunaan simbol-simbol tokoh untuk mengatasi persoalan. Dalam konteks penafsiran, simbol tokoh seperti nabi dan para sahabat cenderung dijadikan sebagai rujukan utama dalam penafsiran al-Qur’an. Standar kebenarannya pun ditentukan oleh ketokohan orang-orang tersebut. Kedua, cenderung kurang kritis dalam menerima produk penafsiaran; menghindari hal yang konkret-realistis dan berpegang pada hal-hal yang abstrak –metafisis. Dalam konteks penafsiran, al-Qur’an cendrung diposisikan sebagai objek. Dengan kata lain, posisi teks menjadi sentral sehingga model berfikir induktif. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada era ini yang dominan adalah model tafsir bi ar-riwayah, sedangkan tafsir bi ar-ra’yi cenderung dihindari dan bahkan dicurigai.[3]
Jika mereka tidak menemukan riwayat, maka metode yang mereka tempuh kemudian adalah menafsirkan ayat dengan ayat lainnya. Sebab ada keyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu saling menafsirkan satu dengan lainnya (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan).[4] Itulah yang kemudian lahir sebuah metode yang dikenal sebagai metode mawdhu’i (tematik) yang kemudian secara metodologis dirumuskan oleh para mufassir era belakangan, seperti Al-Farmawi, Hassan Hanafi dan juga Fazlur Rahman.
Hal yang membedakan penafsiran pada masa tabi’in ini barang kali hanya pada persoalan sektarianisme, yaitu mulai munculnya aliran-aliran tafsir berdasarkan kawasan. Itu disebabkan karena para mufassir dari para tabi’in yang dahulu berguru kepada para sahabat kemudian menyebar ke beberapa daerah.
Sudah disinggung di atas bahwa, paling tidak ada tiga aliran panafsiran yang menonjol di era tabi’in; pertama, aliran Makkah, yang dipelopori oleh Said bin Jubair (w. 712 M.), Ikrimah (w. 723 M.), dan Mujahid bin Jabir (w. 722 M.). Mereka berguru kepada sahabat Ibnu ‘Abbas. Kedua, aliran Madinah, yang dipelopori oleh Muhammad bin Ka’b (w. 735 M.), Zaid bin  Aslam al-Qurazhi (w. 735 M.), dan Abu ‘Aliyah (w. 708 M.). Mereka berguru kepada sahabat Ubay bin Ka’b. Ketiga, aliran Irak, di mana tokoh-tokohnya adalah ‘Alqamah ibn Qays (w. 720 M.), Amir asy-Sa’bi (w. 723 M.), Hasan al-Bashri (w. 738 M.) dan Qatadah ibn Di’amah as-Sadusi (w. 735 M.). Mereka berguru kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Sementara itu, ada pula ulama yang menambahkan satu aliran lagi dalam tafsir tabi’in, yaitu aliran Bashrah, yang dipelopori oleh Ibn Sirrin, Jabir bin Zayd al-Azdi, dan Abu Sya’sya’.[5]
Menurut sebagian pengamat sejarah tafsir pada masa tabi’in, penafsiran al-Qur’an aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan aliran Irak cenderung bercorak rasional sehinga memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Hal ini boleh jadi karena kondisi geografis Irak yang cukup jauh dari Madinah (sebagai pusat studi hadits) sehingga mereka cenderung menggunakan ijtihad ketika tidak ditemukan riwayat. Selain itu, secara politis, tradisi penafsiran yang cenderung rasional itu mendapat dukungan dari Guberbur ‘Ammar ibn Yasir yang diangkat oleh Khalifah Umar ibn Khaththab. Dia adalah seorang sahabat yang “rasional”.[6]
2.      Kualitas Tafsir Pada Masa Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat tentang kualitas tafsir tabi’in jika tafsir tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan dari Rasulullah atau para sahabat, apakah pendapat mereka dapat dipegangi atau tidak?
Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[7]
Pendapat yang kuat adalah jika para tabi’in sepakat atas suatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalan yang lain.
Ibnu Taimiyah menukil pendapat, Syu’bah bin Al-Hajjaj dan lainnya katanya, “pendapat para tabi’in itu bukan hujjah”. Maka bagaimana pula pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan tabi’in sendiri maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa al-Qur’an, Sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.[8]
3.      Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in
Seperti halnya pada masa sahabat telah ada para ahli tafsir seperti, empat kholifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya, begitu juga pada masa Tabi’in. Banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Di bawah ini mereka Tabi’in yang ahli tafsir al-Qur’an yang tentunya telah begitu besar pengorbanannya dalam mengembangkan ilmu tafsir pada saat itu, mereka adalah :
a)    Muhammad bin Ka’ab
b)   Abil ‘Aliyah
c)    Hasan Bashri
d)   Qatadah
e)    Al Rabi’in Anas
f)    Ad Dhahhak bin Muzaahim,
g)   Imam Abu Malik
h)   Dan lain-lain
Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para sahabat Nabi Muhammad saw dan mereka itulah oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi bahan rujukan pada masa-masa selanjutnya.




[1] M Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1998.71
[2] Abdul Mustaqim, Epitemologi Tafsir Kontemporer,  Yogyakarta: LKIS, 2010. 34
[3] Ibid. 34-35
[4] Ibid. 41
[5] Ibn ‘Ali al-Khudhri, Tafsir at-Tabi’in, 1/422-466
[6] Manna’ al-Qaththan. 426-427
[7] Ibid. 427
[8] Ibid

1 komentar: