BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dalam
Al-Qur’an karim yakni kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui
perantara malaikat Jibril itu, tidak semua hukum yang diturunkan kepada umat
manusia itu bersifat tetap atau permanent. Akan tetapi hukum yang telah
diturunkan itu ada yang dirubah, namun tidak semuanya itu dirubah. Hal ini
dinamakan dengan istilah Nasikh Mansukh.
Hal ini terjadi
karena hukum yang sudah ada (hukum sebelum nabi Muhammd SAW) itu perlu adanya
penyempurnaan, sehingga hukum tersebut dirubah ataupun dihapus (Nasakh
Mansukh) dan menjadilah sempurna hukum tersebut. Karena pada hakikatnya
islam itu datang sebagi penyempurna dan rahmat bagi semua umat.
Dalam makalah
ini kami akan sedikit menerangkan tentang rukun dan syarat Nasakh Mansukh , ayat yang membolehkan
Nasakh Mansukh, serta kitab-kitab apa saja yang membahas Nasakh
Mansukh serta siapa saja
pengarangnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya
pemakalah . Amiin
B.
Rumusan Masalah
1.
Ayat apa yang membolehkan Nasakh Mansukh?
2.
Saja rukun dan syarat Nasakh Mansuk?
3.
Kitab apa saja yang membahasa tentang Nasakh Mansukh?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui ayat yang membolehkan Nasakh Mansukh?
2.
Untuk mengetahui syarat dan rukun Nasakh Mansukh?
3.
Untuk mengetahui kitab-kitab yang membahasa Nasakh Mansukh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ayat yang membolehkan Nasakh Mansukh[1]
مَا
نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya:
”Ayat mana saja[2]
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” [QS.
Al-Baqarah : 106].[3]
Mengenai firman
Allah ta’ala : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; Ibnu Abi Thalhah
meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhumaa, ia mengatakan : “Artinya
adalah ما
نبدل من آية = “yang Kami
(Allah) gantikan”.
Masih mengenai
ayat yang sama, dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayatkan مَا
نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; maksudnya adalah ما
نمحو من آية = “ayat mana
saja yang Kami (Allah) hapuskan”.
Ibnu Abi Nujaih
meriwayatkan dari Mujaahid, bahwa ia menuturkan : مَا
نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; artinya نثبت
خطها ونبدل حكمها = “Kami (Allah)
biarkan tulisannya, tetapi Kami ubah hukumnya”. Hal itu diriwayatkan dari
beberapa shahabat Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu.
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, As-Suddi mengatakan : نسخها
قبضها “Nasakh berarti menarik (menggenggamnya)”.
Sedangkan Ibnu
Abi Hatim mengatakan : قبضها ورفعها “yaitu menggenggam dan mengangkatnya”; sebagaimana firman-Nya : «الشيخ والشيخة
إذا زنيا فارجموهما البتة» ”Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun
perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya”. Demikian juga firman-Nya : «لو كان
لابن آدم واديان من ذهب لابتغى لهما ثالثاً» ”Seandainya Ibnu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya
mereka akan mencari lembah yang ketiga”.[4]
Masih berhubungan dengan firman-Nya : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; Ibnu Jarir mengatakan :
ما
ينقل من حكم آية إلى غيره فنبدله ونغيره، وذلك أن يُحوَّل الحلالُ حرامًا والحرام
حلالا والمباح محظورًا، والمحظور مباحًا. ولا يكون ذلك إلا في الأمر والنهي والحظر
والإطلاق والمنع والإباحة. فأما الأخبار فلا يكون فيها ناسخ ولا منسوخ.
“(Maknanya) : Hukum suatu ayat yang Kami (Allah) pindahkan kepada
lainnya dan Kami ganti dan ubah, yaitu mengubah yang halal menjadi haram dan
yang haram menjadi halal, yang boleh menjadi tidak boleh, dan yang tidak boleh
menjadi boleh. Dan hal itu tidak terjadi kecuali dalam hal perintah, larangan,
keharusan, muthlaq, dan ibahah (kebolehan).
B.
Rukun dan Syarat Nasikh
Sesuai dengan
sistematisasi interpretasi dalam ilmu
hukum, hubungan antara ketentuan
hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada
kontradiksi antara satu ayat dengan
ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa rukun dan syarat
yang harus diterapkan:
1.
Rukun Nasikh
a)
Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan
hukum yang telah ada.
b)
Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat
hukum dan menghapusnya.
c)
Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau
dipindahkan.
d)
Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.[5]
2.
Syarat Nasikh
Sebagaiman
telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran nasakh dalam al-qur’an,
namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati
dan ada yang tidak.
Diantara
syarat-syarat yang disepakati antara lain:
a)
Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b)
Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c)
Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak
berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d)
Tuntutan yang mengandung
nasakh harus datang kemudian.
Adapun
persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
1)
Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang
menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah
memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang menunjukkan bahwa
hukum itu baik.
2)
Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan
hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang
diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan
alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan
oleh akal.
3)
Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap
hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah,
2.
4)
Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa
apabila akan menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadis yang mutawatir, maka
nasikh itu harus sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti
menasakh hadis mutawatir dengan hadis ahad.[6]
C. Kitab-kitab yang
membahas Nasikh Mansukh
Perintis ilmu ini
adalah Asy Syafi’i dilanjutkan oleh Ahmad Ibn Ishaq Ad Dinari (w. 318 H ),
Muhammad Ibn Bahar al-Ashbahani (w. 322 H), Ahmad Ibn Muhammad An Nahs (w. 338
H), Muhammad Ibn Musa Al Hazimi (w. 584 H) menyusun kitab Al-I’tibar, yang
telah diikhtisarkan oleh Ibn ‘Abd Al Haq (w. 744 H).[7]
Kitab-kitab yang
disusun tentang Nasikh Mansukh hadits, diantaranya yaitu :
1.
An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat
118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
2.
Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh
Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
3.
Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari
tiga jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah
dengan nomor 1587.
4.
Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh
An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
5.
An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau
yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.[8]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Surat Al Baqarah ayat 106
مَا
نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya: ”Ayat
mana saja[9]
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” [QS.
Al-Baqarah : 106].
2.
Rukun Nasikh
a)
Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan
hukum yang telah ada.
b)
Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat
hukum dan menghapusnya.
c)
Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau
dipindahkan.
d)
Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Syarat Nasikh Mansukh
a)
Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b)
Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c)
Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak
berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d)
Tuntutan yang mengandung
nasakh harus datang kemudian.
3. Kitab-kitab yang
disusun tentang Nasikh Mansukh hadits, diantaranya yaitu :
a)
An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat
118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
b)
Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh
Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
c)
Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari
tiga jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah
dengan nomor 1587.
d)
Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh
An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
e)
An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau
yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.
[2] Para
mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al
Qur’an, dan ada yang mengartikan mukjizat.
[3] DEPAG RI, Al
Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Penerbit CV. TOHA PUTRA, 1989) h.25
[4] http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2009/11/tafsir-al-baqarah
[5] Rosihon
Anwar, Ulum Al-quran (Bandung: CV Pustaka Setia,
2008), 165
[7] M Agus
Solahhudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadits ,(Bandung : CV. PUSTAKA
SETIA, 2011), hal 120
[8] ibid
[9] Para
mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al
Qur’an, dan ada yang mengartikan mukjizat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar