Rabu, 04 November 2015

Syarat dan Rukun Nasikh Mansukh (M. Yusuf)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dalam Al-Qur’an karim yakni kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril itu, tidak semua hukum yang diturunkan kepada umat manusia itu bersifat tetap atau permanent. Akan tetapi hukum yang telah diturunkan itu ada yang dirubah, namun tidak semuanya itu dirubah. Hal ini dinamakan dengan istilah Nasikh Mansukh.
Hal ini terjadi karena hukum yang sudah ada (hukum sebelum nabi Muhammd SAW) itu perlu adanya penyempurnaan, sehingga hukum tersebut dirubah ataupun dihapus (Nasakh Mansukh) dan menjadilah sempurna hukum tersebut. Karena pada hakikatnya islam itu datang sebagi penyempurna dan rahmat bagi semua umat.
Dalam makalah ini kami akan sedikit menerangkan tentang rukun dan syarat  Nasakh Mansukh , ayat yang membolehkan Nasakh Mansukh, serta kitab-kitab apa saja yang membahas Nasakh Mansukh  serta siapa saja pengarangnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya pemakalah . Amiin
B.     Rumusan Masalah
1.      Ayat apa yang membolehkan Nasakh Mansukh?
2.      Saja rukun dan syarat Nasakh Mansuk?
3.      Kitab apa saja yang membahasa tentang Nasakh Mansukh?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui ayat yang membolehkan Nasakh Mansukh?
2.      Untuk mengetahui syarat dan rukun Nasakh Mansukh?
3.      Untuk mengetahui kitab-kitab yang membahasa Nasakh Mansukh.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ayat yang membolehkan Nasakh Mansukh[1]
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya: ”Ayat mana saja[2] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” [QS. Al-Baqarah : 106].[3]

Mengenai firman Allah ta’ala : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhumaa, ia mengatakan : “Artinya adalah ما نبدل من آية = “yang Kami (Allah) gantikan”.
Masih mengenai ayat yang sama, dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayatkan مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; maksudnya adalah ما نمحو من آية = “ayat mana saja yang Kami (Allah) hapuskan”.
Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujaahid, bahwa ia menuturkan : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; artinya نثبت خطها ونبدل حكمها = “Kami (Allah) biarkan tulisannya, tetapi Kami ubah hukumnya”. Hal itu diriwayatkan dari beberapa shahabat Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu.
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, As-Suddi mengatakan : نسخها قبضها “Nasakh berarti menarik (menggenggamnya)”.
Sedangkan Ibnu Abi Hatim mengatakan : قبضها ورفعها “yaitu menggenggam dan mengangkatnya”; sebagaimana firman-Nya : «الشيخ   والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة» ”Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya”. Demikian juga firman-Nya : «لو كان لابن آدم واديان من ذهب لابتغى لهما ثالثاً» ”Seandainya Ibnu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya mereka akan mencari lembah yang ketiga”.[4]
Masih berhubungan dengan firman-Nya : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”; Ibnu Jarir mengatakan :
ما ينقل من حكم آية إلى غيره فنبدله ونغيره، وذلك أن يُحوَّل الحلالُ حرامًا والحرام حلالا والمباح محظورًا، والمحظور مباحًا. ولا يكون ذلك إلا في الأمر والنهي والحظر والإطلاق والمنع والإباحة. فأما الأخبار فلا يكون فيها ناسخ ولا منسوخ.
“(Maknanya) : Hukum suatu ayat yang Kami (Allah) pindahkan kepada lainnya dan Kami ganti dan ubah, yaitu mengubah yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal, yang boleh menjadi tidak boleh, dan yang tidak boleh menjadi boleh. Dan hal itu tidak terjadi kecuali dalam hal perintah, larangan, keharusan, muthlaq, dan ibahah (kebolehan).
B.     Rukun dan Syarat Nasikh
Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum, hubungan antara  ketentuan hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu  ayat  dengan  ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa rukun dan syarat yang harus diterapkan:
1.      Rukun Nasikh
a)      Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b)      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan menghapusnya.
c)      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
d)     Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.[5]
2.      Syarat Nasikh
Sebagaiman telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran nasakh dalam al-qur’an, namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.
Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
a)      Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b)      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c)      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d)      Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
1)      Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum itu baik.
2)      Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.
3)      Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah, 2.
4)      Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadis yang mutawatir, maka nasikh itu harus sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadis mutawatir dengan hadis ahad.[6]
C.    Kitab-kitab yang membahas Nasikh Mansukh
Perintis ilmu ini adalah Asy Syafi’i dilanjutkan oleh Ahmad Ibn Ishaq Ad Dinari (w. 318 H ), Muhammad Ibn Bahar al-Ashbahani (w. 322 H), Ahmad Ibn Muhammad An Nahs (w. 338 H), Muhammad Ibn Musa Al Hazimi (w. 584 H) menyusun kitab Al-I’tibar, yang telah diikhtisarkan oleh Ibn ‘Abd Al Haq (w. 744 H).[7]
Kitab-kitab yang disusun tentang Nasikh Mansukh hadits, diantaranya yaitu :
1.      An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
2.      Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
3.      Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan nomor 1587.
4.      Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
5.      An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.[8]

                                

BAB III
KESIMPULAN
1.      Surat Al Baqarah ayat 106
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya: ”Ayat mana saja[9] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” [QS. Al-Baqarah : 106].
2.      Rukun Nasikh
a)      Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b)      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan menghapusnya.
c)      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
d)     Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Syarat Nasikh Mansukh
a)      Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b)      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c)      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d)      Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
3.      Kitab-kitab yang disusun tentang Nasikh Mansukh hadits, diantaranya yaitu :
a)      An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
b)      Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
c)      Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan nomor 1587.
d)     Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
e)      An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.



[2] Para mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Qur’an, dan ada yang mengartikan mukjizat.
[3] DEPAG RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Penerbit CV. TOHA PUTRA,  1989) h.25
[4] http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2009/11/tafsir-al-baqarah
[5] Rosihon Anwar, Ulum Al-quran (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),  165
[7] M Agus Solahhudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadits ,(Bandung : CV. PUSTAKA SETIA, 2011), hal 120
[8] ibid
[9] Para mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Qur’an, dan ada yang mengartikan mukjizat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar