BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Secara umum Maqasid Al- Tasyri’ adalah untuk kemaslahatan manusia.
Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya
Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai
dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa
ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang
mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik, kita
harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al- Qur’an.
2.
Rumusan masalah
a.
Apa yang di maksud nasikh mansukh?
b.
Apa urgensi mempelajari nasikh mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Makna dan hakekat naskh
Naskh
Secara etimologi naskh memeliki beberapa arti antara lain;
1)
Al-izalah wal al-i’dam (menghapus/menghilangkan) seperti pada Q.S.
al-Hajj: 52;
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ
رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ
فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ [الحج : 52]
Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak pula seorang nabi,melainkan
apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan
terhadap keingina itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh
syaitan itu, dan allah menguatkan ayat-ayat nya, dan Allah maha mengetahui lagi
maha bijaksana,
2)
At-taghyir wal al-ibtal wa iqamah ash-shai’ maqamahu (mengganti)
sebagaimana Q.S al-Nahl : 101;
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ
لَا يَعْلَمُونَ [النحل : 101]
Dan
apabila kami meletakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata: “sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-ngadakan saja” bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.[1]
3)
An-Naql min ila kitab (menyalin/mengutip) naskh juga dipergunakan
untuk makna memindah sesuatu dari sesuatu tempat ketempat lain. Misalnya ....
artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku[2].
Di dalam al-Qur’an dinyatakan :
إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ [الجاثية : 29]
Allah berfirman
: “inilah kitab (catatan) kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar dengan
bener. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.”
Yang di pautkan
pada Q.S al-Zukhruf:4;
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا
لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ [الزخرف : 4]
Dan
sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk al kitab (lauh mahfuzh) disisi kami,
adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.
Secara
termonologi naskh adalah ;
النسخ
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي مع التراخى على وجه لولاه لكان الحكم الأول ثابتا
Nasikh
ialah menggantikan hukum syara’ dengan memakai dalil syara’ dengan adanya
tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap
berlaku.
Contoh
kewajiban hukum yang tertuang dalam Q.S al-Mujadalah : 12;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ
لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [المجادلة
: 12]
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul hendaklah
kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian
itu adalah lebih baik bagimu dab lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang
akan disedekahkan) maka sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Dengan adanya
kebebasan yang ditawarkan dalam Q.S Al-Mujadalah: 13;
أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ
بِمَا تَعْمَلُونَ [المجادلة : 13]
Apakah
kamu takut akan (menjadi miskin) karna kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengaan rasul? Maka jika kaamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlaah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Maka tidak lagi
menjadi wajib hukum yang tertuang didalam Q.S Al-Mujadalah:12;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ
لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [المجادلة
: 12]
Nasikh
secara termonologi tersebut diatas memiliki dua konotasi;
a)
Hukum syara’ atau dalil syara’ yang mengganti dalil syara’ yang
mendahuluinya. Contoh; Q.S al-mujadalah 13 (nasikh)
Menggantikan
ayat sebelumnya (12)
b)
Hanya Allah SWT yang berhak mengganti, sebagai pernyataan Q.S
al-An’am: 57;
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي
وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ [الأنعام : 57]
Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi
keputusan yang paling baik.
Dan Q.S
Al-Baqarah: 106;
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا
نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة : 106]
Ayat mana saja[3]
yang kami nasakh kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu?
2.
Urgensi mempelajari nasikh mansukh
Ilmu
nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-Quran sangat penting
untuk mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika
kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejuhmana elastisitas ajaran dan
hukumnya, serta sejauhmana perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untuk
menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum),
sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara longgar dan ketat
sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan
ajaran dan illat hukum tersebut.
Pengetahuan
tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ulama,
terutama para fuqaha, mufassir, dan ahli ushul fiqh, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kabur. Oleh karena itu, terdapat banyak atsar yang
mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan, Ali pada
suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya, “Apakah kamu mengetahui yang
nasikh dari yang mansukh?” “Tidak,” jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah
kamu dan kamu pun akan mencelakakan orang lain.”[4]
Dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata
tentang firman Allah, “Dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia
telah diberi kebajikan yang banyak.” (AL-Baqarah;269), “yang dimaksud ialah
(yang diberi ilmu tentang nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam
dan mu’akhkharny, serta haram dan halalnya.[5]
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh
terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat,
seperti hadits:
“Aku dulu
pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.” (HR.
Al-Hakim). Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang yang dibunuh di
dekat sumur Ma’unah,[6] “berkenaan
dengan mereka turunlah ayat al-Qur’an yang pernah kami baca sampai kemudian ia
diangkat kembali.”
2. Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang
itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan
mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
Nasikh tidak
dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir atau kontradiksi dalil-dalil secara lahiriah,
atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perawi.[7]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara’
dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan Mansukh yaitu hukum syara’
yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum
syara’ yang datang kemudian.
Urgensi mempelajari Nasikhdan
Mansukhadalah untuk mengetahui proses
tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan
ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).
DAFTAR
PUSTAKA
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel
surabya, Studi Al-Qur’an,
Manna’ khalil al-Qattan, Studi
ilmu-ilmu Qur’an,
Abi ’Ubaid al-Qasim bin Sallam, al-Nasikh
wa al-Mansukh fi al-Kitab wa al-Sunnah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut,
2006,
Manna’ al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, halm.
[1] Tim penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel surabya, Studi Al-Qur’an, hal 120-121
[2] Manna’ khalil
al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, hal 326
[3] Para
mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat
Al-Qur’an, dan ada yang mengartikan mukjizat.
[4] Abi ’Ubaid al-Qasim bin Sallam, al-Nasikh wa al-Mansukh fi
al-Kitab wa al-Sunnah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2006, halm. 19
[6] Mereka adalah duta dari kalangan para sahabat Rasulullah yang
dikirim kepada penduduk Nejd. Mereka berjalan sampai ke sumur Ma’unah.
Lalu ‘Amir bin Thufail meminta bantuan kepada ‘Ushaiyah, Rahal dan Dzakwan dari
kabilah Bani Sulaim untuk menyerang mereka. Maka kabilah-kabilah itu kemudian
mengepung dan membunuh mereka sampai semuanya mati. Lihat Manna’ al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, Halm. 288
Tidak ada komentar:
Posting Komentar