Rabu, 04 November 2015

PENGERTIAN NASIKH MANSUKH

BAB I
PENDAHULUAN

1.         Latar belakang
Secara umum Maqasid Al- Tasyri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik, kita harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al- Qur’an.
2.                  Rumusan masalah
a.                   Apa yang di maksud nasikh mansukh?
b.                  Apa urgensi mempelajari nasikh mansukh?












BAB II
PEMBAHASAN

1.                  Makna dan hakekat naskh

Naskh Secara etimologi naskh memeliki beberapa arti antara lain;

1)                  Al-izalah wal al-i’dam (menghapus/menghilangkan) seperti pada Q.S. al-Hajj: 52;

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [الحج : 52]

Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak pula seorang nabi,melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keingina itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan allah menguatkan ayat-ayat nya, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana,

2)                  At-taghyir wal al-ibtal wa iqamah ash-shai’ maqamahu (mengganti) sebagaimana Q.S al-Nahl : 101;

وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل : 101]

Dan apabila kami meletakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal  Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ngadakan saja” bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.[1]

3)                  An-Naql min ila kitab (menyalin/mengutip) naskh juga dipergunakan untuk makna memindah sesuatu dari sesuatu tempat ketempat lain. Misalnya .... artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku[2]. Di dalam al-Qur’an dinyatakan :

إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [الجاثية : 29]

Allah berfirman : “inilah kitab (catatan) kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar dengan bener. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.”

Yang di pautkan pada Q.S al-Zukhruf:4;

وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ  [الزخرف : 4]

Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk al kitab (lauh mahfuzh) disisi kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.

Secara termonologi naskh adalah ;

النسخ رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي مع التراخى على وجه لولاه لكان الحكم الأول ثابتا
Nasikh ialah menggantikan hukum syara’ dengan memakai dalil syara’ dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu  tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.

Contoh kewajiban hukum yang tertuang dalam Q.S al-Mujadalah : 12;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [المجادلة : 12]

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dab lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan)  maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

Dengan adanya kebebasan yang ditawarkan dalam Q.S Al-Mujadalah: 13;

أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ  [المجادلة : 13]

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karna kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengaan rasul? Maka jika kaamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlaah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Maka tidak lagi menjadi wajib hukum yang tertuang didalam Q.S Al-Mujadalah:12;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [المجادلة : 12]

Nasikh secara termonologi tersebut diatas memiliki dua konotasi;
a)                  Hukum syara’ atau dalil syara’ yang mengganti dalil syara’ yang mendahuluinya. Contoh; Q.S al-mujadalah 13 (nasikh)
Menggantikan ayat sebelumnya (12)
b)                  Hanya Allah SWT yang berhak mengganti, sebagai pernyataan Q.S al-An’am: 57;
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ [الأنعام : 57]

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang paling baik.

Dan Q.S Al-Baqarah: 106;
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  [البقرة : 106]
Ayat mana saja[3] yang kami nasakh kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu?


2.                  Urgensi mempelajari nasikh mansukh

Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-Quran sangat penting untuk mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejuhmana elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara longgar dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan ajaran dan illat hukum tersebut.

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ulama, terutama para fuqaha, mufassir, dan ahli ushul fiqh, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur. Oleh karena itu, terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya, “Apakah kamu mengetahui yang nasikh dari yang mansukh?” “Tidak,” jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamu pun akan mencelakakan orang lain.”[4]
            Dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah, “Dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak.” (AL-Baqarah;269), “yang dimaksud ialah (yang diberi ilmu tentang nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam dan mu’akhkharny, serta haram dan halalnya.[5]
            Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
1.      Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits:
“Aku dulu pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.” (HR. Al-Hakim). Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang yang dibunuh di dekat sumur Ma’unah,[6] “berkenaan dengan mereka turunlah ayat al-Qur’an yang pernah kami baca sampai kemudian ia diangkat kembali.”
2.      Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3.      Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir  atau kontradiksi dalil-dalil secara lahiriah, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perawi.[7]









BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN


    Nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan Mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
   
    Urgensi mempelajari Nasikhdan Mansukhadalah  untuk mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).



























DAFTAR PUSTAKA


Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel surabya, Studi Al-Qur’an,

Manna’ khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an,

Abi ’Ubaid al-Qasim bin Sallam, al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Kitab wa al-Sunnah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2006,

Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, halm.





[1] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel surabya, Studi Al-Qur’an, hal 120-121
[2] Manna’ khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, hal 326
[3] Para mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al-Qur’an, dan ada yang mengartikan mukjizat.
[4] Abi ’Ubaid al-Qasim bin Sallam, al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Kitab wa al-Sunnah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2006, halm. 19
[5] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, halm. 288
[6] Mereka adalah duta dari kalangan para sahabat Rasulullah yang dikirim kepada penduduk Nejd. Mereka berjalan sampai ke sumur Ma’unah. Lalu ‘Amir bin Thufail meminta bantuan kepada ‘Ushaiyah, Rahal dan Dzakwan dari kabilah Bani Sulaim untuk menyerang mereka. Maka kabilah-kabilah itu kemudian mengepung dan membunuh mereka sampai semuanya mati. Lihat Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Halm. 288
[7] Ibid., halm. 288

Tidak ada komentar:

Posting Komentar