Rabu, 04 November 2015

Sebab-Sebab (Seorang Mendapatkan) Warisan & perkara-perkara yang dapat menghalanginya

BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang
Faraid adalah ilmu yang menjelaskan tentang pembagian harta warisan, harta yang berhak diterima bagi seorang yang berhak menerimanya. Dalam hal ini Al Quran Al Karim telah menyebutkan dan menjelaskan beberapa ayat yang berkaitan dengan harta warisan (QS. An Nisa’: 11-12 dan QS. An Nisa’: 176).
Dalam ayat tersebut dijelaskan secara rinci ukuran pembagian dari harta yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia. Dan dalam ayat tersebut juga menjelaskan secara mendetail siapa saja yang berhak mendapatkan harta warisan (baca: ahli waris)
Ada beberapa sebab orang bisa mendapatkan harta warisan dan ada beberapa penghalang yang menyebabkan seorang tidak bisa mendapatkan harta warisan (tersebut). Seorang yang tadinya berhak mendapatkan harta warisan, akan tetapi dia melakukan salah satu penghalang itu, maka dia menjadi orang yang tidak memiliki hak lagi untuk mendapatkannya.
Contoh dari penghalang adalah (seseorang yang membunuh): 3 bulan lalu dihebohkan dengan pembunuhan dengan motif ingin menguasai harta Angelin, harta warisan dari ayah angkatnya. Margaretha Magawe adalah ibu angkat yang tega membunuh Angelin demi harta.[1]

Untuk mengetahui siapa saja yang berhak mendapatkan dan siapa saja yang tidak berhak sebab melakukan salah satu dari beberapa penghalang tersebut, kiranya pemakalah perlu menjelaskan secara mendetail terkait permasalahan tersebut.


  1. Rumusan Masalah
Dalam makalah singkat ini pemakalah akan mensajikan pembahasan-pembahasan sebagai berikut:
1.      Apa sebab-sebab seorang yang berhak mendapatkan harta warisan?
2.      Apa saja seorang dapat terhalang mendapatkan harta warisan?
3.      Apa saja rukun-rukun dalam warisan?
4.      Apa saja syarat-syarat dalam warisan?















BAB II
PEMBAHSAN

1.      Sebab-Sebab Seorang Mendapatkan Warisan
لِلإِرْثِ أَسْبَابٌ ثَلَاثَةٌ بِلَا   خُلْفٍ قَرَابَةٌ نِكَاحٌ وَوَلَا
“Ada 3 sebab )bagi seorang yang mendapatkan( harta warisan: (adanya hubungan) Kerabat, Nikah, Budak”.[2]
Seseorang berhak mendapatkan harta warisan dengan memenuhi salah satu dari 3 sebab di atas, selama tidak ada sesuatu yang menghalanginya, sebagai berikut:
1)   Al Qaraabah (sanak keluarga): seorang akan memberikan sebagian harta warisannya kepada seorang yang masih ada hubungan saudara dengannya (sesuai dengan perhitungan). Seperti: kedua orang tua, anak, saudara, paman dan lain sebagainya. Kalau secara ringkasnya, orang tua, anak, dan orang yang senasab dengannya.[3]
2)   An Nikah: seseorang yang menikah dengan akad yang sah suami atau istri bisa saling berbagi harta warisan (jika salah satu dari mereka ada yang meninggal lebih dahulu). Dikecualikan, seorang yang menikah dengan akad fasid (tidak sah) atau seorang yang sudah bercerai. Maka dia berdua tidak bisa saling mewarisi, kecuali di dalam iddah raj’i.
3)   Al Walaa’ (budak) : seorang yang memerdekakan (boleh) mewariskan harta warisan kepada al walaa’ (budak)nya, baik budaknya laki-laki atau perempuan. Hal tersebut berlandaskan sabda Nabi SAW: “Budak (itu) milik seorang yang memerdekakan”. (HR. Ahmad dan Ath Thabari). [4]
  1. Perkara-perkara yang menghalangi (dalam) pewarisan
وَاْلمَنْعُ بِاخْتِلَافِ دِيْنٍ حَصَلَا     وَرِدَّةٍ وَرِقٍّ وَقَتْلٍ مُسْجَلَا
“Perkara yang menghalangi (dalam pewarisan): perbedaan agama, kemurtadan, hamba sahaya, dan membunuh secara sengaja”.[5]
Seorang ahli waris terhalang mendapatkan harta warisan sebab adanya salah satu dari 4 sebab:
1)   Perbedaan agama antara pewaris dan yang diwarisi, seperti:seorang pewaris beragama Islam dan yang diwarisi adalah orang kafir atau sebaliknya. Baik seorang kafir tersebut masuk Islam sebelum pembagian harta waris atau tidak. Baik (adanya hubungan) kerabat, nikah, atau budak. Maka (dengan sebab ini) di antara keduanya tidak bisa saling mewarisi.[6]
Hal ini berlandaskan sabada Nabi SAW:
لاَ يَرِثُ اْلمُسْلْمُ اْلكَافِرَ وَلَا اْلكَافِرُ اْلمُسْلِمَ
“Orang muslim tidak boleh mewariskan (hartanya) kepada orang kafir. Dan orang kafir tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang muslim”. (HR. Bukhari).[7]
Berbeda dengan orang Yahudi dan Nasrani atau sebaliknya. Mereka boleh saling mewarisi. Karena kufur seluruhnya adalah satu agama. Berdasarkan firman Allah SWT:
فماذا بعد الحق إلا الضلال
“Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan”. (QS. Yunus: 32)[8]
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain”. (QS. Al Anfal: 73)[9]
2)   Murtad : baik dari pihak pewaris atau yang diwarisi. Murtad adalah: seorang yang keluar dari agama Islam –naudzubillah- dan hartanya digunakan untuk kemaslahatan orang-orang muslim. [10]
3)   Budak, dengan segala bentuknya.[11] Baik itu budak qinnan adalah budak khusus, budak mudabbiran adalah budak yang diberi wasiat oleh tuannya: “Kamu akan merdeka setelah saya meninggal”., budak mukatabah adalah budak yang akan dimerdekakan oleh majikanya apabila membayar sejumlah uang kepada majikanya, budak muallaq adalah budak yang akan dimerdekakan dengan sebab pensifatan. Contoh: “Apabila istriku melahirkan anak laki-laki, maka kamu akan merdeka”.[12]
Sesungguhnya seorang budak tidak bisa mewariskan harta warisan(nya) kepada kerabatnya.  Karena jika dia mewariskan sesuatu dari hartanya, maka akan diambil oleh tuannya. (Karena) seorang tuan adalah orang asing, sehingga tidak bisa mewariskan kepada orang lain.
4)   Pembunuhan: mencakup seluruh orang yang ada kaitannya dalamnya. Baik secara sengaja (hak) atau tidak ada hak. Contok seorang yang berhak untuk membunuh, seperti: seorang yang meng-qishah, imam, qadhi, dan syahid. Dan seorang yang tidak memiliki hak membunuh. Sedangkan contoh seorang yang tidak berhak membunuh baik disengaja atau tidak. Secara disengaja seperti: seorang yang membayar seorang saksi, membayar seseorang (untuk membunuh), atau seorang yang tidak memiliki hak membunuh, atau tidak sengaja, seperti: orang tidur, orang gila, dan anak kecil. Alasan tercegahnya sebab ini adalah (seseorang yang ingin) mempercepat terjadinya proses pewarisan.[13]
Kaidah fiqih: seorang yang ingin mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka dia akan terkena hukum berupa terhalang (mendapatkan harta warisan).
Walhasil: seorang yang membunuh tidak akan mendapatkan warisan dari harta peninggalan seorang yang dibunuh. Hal ini berlandaskan sabda Nabi  SAW: “Seorang yang membunuh tidak akan mendapatkan warisan dariharta peninggalan orang yang dibunuh”. [14]
Ini adalah penghalang bagi orang yang membunuh, tidak pada orang yang dibunuh. (Karena) terkadang seorang yang yang dibunuh memberikan warisan kepada orang yang membunuh, ketika dia (pembunuh) mati lebih dulu. [15]
Pengecualian: seorang mufti atau seorang rawi hadits (tidak termasuk seorang yang membunuh, baik secara hak atau tidak memiliki hak), karena mereka berdua sekedar ikhbar (baca:menyampaikan khabar) hukum syariat, berbeda dengan qadhi, karena dia adalah seorang yang menetapkan (hukum atas seorang yang terkena hukum).[16]


  1. Rukun-rukun waris:
1)   Muwarrits (pewaris): adalah seorang mayit. Dan ahli waris berhak mendapatkan harta peningalannya.[17]
2)   Al Waarits (ahli waris) yaitu orang yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.[18]
3)   Haqqu mauruus: yaitu harta peninggalan (baca: segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya).[19]
  1. Syarat-syarat waris:
1)   Kematian muwarris secara pasti: (kematiannya) diketahui dan dipastikan dengan (kesaksian) seorang saksi atau disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil, karena hal tersebut bisa  menempati posisi keyakinan yang nyata atau ketetapan seorang hakim.[20] Maksud ketetapan adalah: keputusan seorang hakim tentang seorang yang menghilang dan tidak diketahui keberadaannya, hidup atau mati? ketika seorang hakim memberikan keputusan bahwa dia telah meninggal dunia dengan melihat tanda-tanda atau bukti-bukti yang ada,  maka seketika itu harta peninggalan pewaris boleh dibagi kepada ahli waris.[21]
2)   Diketahui adanya keluarga yang masih hidup, walaupun (hanya) sebentar. Atau diyakini kehidupannya walaupun hanya sekedar praduga, seperti (bayi) yang masih dalam kandungan.[22]
3)   Mengetahui jalur pewarisan. Maksudnya, seorang yang memutuskan (pembagian harta warisan) baik itu seorang qadhi atau lainnya wajib mengetahui jalur seseorang yang dihukumi sebagai ahli waris, seperti suami-istri, budak, atau kerabat. Dan mengetahui derajat (antara) pewaris dan yang diwarisi.[23]

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Sebab-Sebab Seorang Mendapatkan Warisan: Al Qarabah, An Nikah, dan Al Walaa’.
2.      Perkara-perkara yang menghalangi (dalam) pewarisan: Perbedaan agama, murtad, Budak, dan Membunuh.
3.      Rukun-rukun waris: Al Muwarris, Al Waris, dan Haqqu Mauruus.
4.      Syarat-syarat waris: Kematiaan muwarris secara pasti atau secara hokum, adanya keluarga yang masih hidup, dan mengetahui jalur nasab pewarisan.




DAFTAR PUSTAKA
Al Kaf, Thahir bin Abdillah, Raudh An Nahidh, (Tegal: Darul Muhajir, 1999)
Ash Shabuni, Muhammad Ali, Al Mawaarits fii Asy Syari’ah Al Islamiyyah fii Dhou’i Al Kitab wa Al Sunah, (Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah, 2010).
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Karya Insan Indonesia, 2004)



[1] http://news.liputan6.com. Diunduh tanggal 6 September 2015
[2] Thahir bin Abdillah Al Kaf, Raudh An Nahidh, (Tegal: Darul Muhajir, 1999), 30
[3] Ali Ash Shobuni, Al Mawaarits fii Asy Syari’ah Al Islamiyyah fii Dhou’i Al Kitab wa Al Sunah, (Jakarta: Dar Al Kutub Al Islamiyah, 2010), 33
[4] Thahir bin Abdillah Al Kaf, Raudh An Nahidh, … 31
[5] Ibid, 33
[6] Ibid, 34
[7] Al Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah, Al Jami’ Al Shahih, (Kairo: Dar Asy Syu’b, 1987), 08/194
[8] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, 2004 (Jakarta: CV. Karya Insan Indonesia), 285
[9] Ibid, 252
[10] Thahir bin Abdillah Al Kaf, Raudh An Nahidh, … 35
[11] Thahir bin Abdillah Al Kaf, Raudh An Nahidh, …  35
[12] Ali Ash Shobuni, Al Mawaarits fii Asy Syari’ah …35
[13] Thahir bin Abdillah Al Kaf, Raudh An Nahidh, … 36
[14] Ibid, 36
[15] Ibid, 36
[16] Ibid, 36
[17] Ibid, 32
[18] Ibid, 32
[19] Ibid, 32
[20] Ibid, 33
[21] Ali Ash Shobuni, Al Mawaarits fii Asy Syari’ah ….34
[22] Thahir bin Abdillah Al Kaf, Raudh An Nahidh, … 33
[23] Ibid, 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar