Rabu, 04 November 2015

SYARAT-SYARAT MENJADI SEORANG MUFASIR

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita tahu, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab yang diturunkan Allah kapada nabi Muhammad SAW yang tercinta. Sangat mustahil seseorang akan paham Alqur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang tafsir. Serangan terhadap Al-Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para orientalis Barat. Mereka berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kesakralan Al-Quran. Kita tentu tidak akan heran jika orang yang melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim; bahkan berkembang dari dan di perguruan tinggi negeri yang memakai embel-embel Islam.
Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran semakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Akan tetapi, apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya? Tulisan ini mencoba untuk menjelaskannya.
B. Latar belakang
1.      bagaimana syarat-syarat bagi seorang mufassir?
2.      Apa saja ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Syarat – Syarat Mufassir
Untuk menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1. Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an serta memiliki pengaruh besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya kepada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan golongan dan jalan petunjuk.
2. Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3. Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya. Allah menjelaskan dalam QS. An Nahl ayat 44 bahwa sunnah merupakan penjelas bagi Al-Quran :
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[1] dan supaya mereka memikirkan.
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat dari para sahabta karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an, mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur’an diturunkan.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat sahabat maka sebagian besar ulama, dalam hal ini memeriksa pendapat tabi’in.[2]
7. Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
8. Menguasai pokok-pokok ilmu nyang berkaitan dengan Al Qur’an seperti ilmu tauhid, ilmu usul, dll.
9. Seorang mufassir haruslah orang yang cerdas dan sehat akalnya agar tidak terjadi kekeliruan dalam menghasilkan suatu hukum.[3]

B.     Ilmu- Ilmu yang Diperlukan oleh Seorang Mufassir
1. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
2. Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.
3. Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
4. Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
5. Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
6. Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
7. Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
8. Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
9. Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
10. Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
11. An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
12. Fikih.
13. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang.[4]


















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Syarat – syarat Mufassir diantaranya adalah : Berakidah yang benar, Mampu mengekang hawa nafsu, menafsirkan ayat dengan ayat terlebih dahulu, merujuk pendapat sahabat, merujuk pendapat tabi’in, menguasai bahasa Arab, dll
Ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir antara lain : ilmu nahwu, shorof, ushuluddin, fikh, qiraat, asbabun nuzul, dll.













DAFTAR PUSTAKA

Manna’ Khalil al Qathhan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (diterjemehkan dari B. Arab oleh Drs.Mudzakir AS), (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2009)

Fahmi Amrullah, ilmu Al Qur’an untuk Pemula, (Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008),

Membangun Tradisi Ilmu dan Amal, Studi Tentang Syarat-syarat Mufassir Al Qur’an dalam http://gedublaks.multiply.com/journal/item/24/STUDI_TENTANG_SYARAT-SYARAT_MUFASSIR_AL-QURAN, di akses 20 september 2013




[1] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[2] Manna’ Khalil al Qathhan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (diterjemehkan dari B. Arab oleh Drs.Mudzakir AS), (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2009) h. 462-464
[3] Fahmi Amrullah, ilmu Al Qur’an untuk Pemula, (Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008), h.79-80
[4] Membangun Tradisi Ilmu dan Amal, Studi Tentang Syarat-syarat Mufassir Al Qur’an dalam http://gedublaks.multiply.com/journal/item/24/STUDI_TENTANG_SYARAT-SYARAT_MUFASSIR_AL-QURAN, di akses 27 september 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar