BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kita
tahu, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab yang
diturunkan Allah kapada nabi Muhammad SAW yang tercinta. Sangat mustahil
seseorang akan paham Alqur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang tafsir.
Serangan terhadap Al-Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para orientalis
Barat. Mereka berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan
kesakralan Al-Quran. Kita tentu tidak akan heran jika orang yang melakukan
penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan
Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu
juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim; bahkan
berkembang dari dan di perguruan tinggi negeri yang memakai embel-embel Islam.
Ajakan
untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran semakin
sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap
ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat
menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Akan tetapi, apakah setiap
orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang
memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi
olehnya? Tulisan ini mencoba untuk menjelaskannya.
B.
Latar belakang
1.
bagaimana
syarat-syarat bagi seorang mufassir?
2.
Apa saja ilmu
yang diperlukan oleh seorang mufassir?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Syarat –
Syarat Mufassir
Untuk
menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1.
Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an
serta memiliki pengaruh besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali
mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian berita.
Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang
bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya kepada madzhabnya yang
batil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan golongan dan jalan
petunjuk.
2.
Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan
memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang
mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3.
Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global
pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan
secara ringkas di tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.
Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah
Al-Qur’an dan penjelasnya. Allah menjelaskan dalam QS. An Nahl ayat 44 bahwa
sunnah merupakan penjelas bagi Al-Quran :
Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[1]
dan supaya mereka memikirkan.
5.
Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat
dari para sahabta karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an,
mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur’an
diturunkan.
6.
Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam
pendapat sahabat maka sebagian besar ulama, dalam hal ini memeriksa pendapat
tabi’in.[2]
7.
Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
8.
Menguasai pokok-pokok ilmu nyang berkaitan dengan Al Qur’an seperti ilmu
tauhid, ilmu usul, dll.
9.
Seorang mufassir haruslah orang yang cerdas dan sehat akalnya agar tidak
terjadi kekeliruan dalam menghasilkan suatu hukum.[3]
B.
Ilmu- Ilmu
yang Diperlukan oleh Seorang Mufassir
1.
Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan
perbedaan i’rab.
2.
Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah
(tense) suatu kata.
3.
Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua
subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal
dari (السياحة) atau (المسح).
4.
Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu
kalimat dari segi manfaat suatu makna.
5.
Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat
dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
6.
Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu
kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
7.
Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan
kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’
lainnya.
8.
Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat
yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah
ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan
dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
9.
Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan
dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
10.
Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui
maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
11.
An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan
hukumnya) dari ayat selainnya.
12.
Fikih.
13.
Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak
diketahui).
Ilmu-ilmu
di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas
untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang
menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan
dengan ra’yu (akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai
ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang
dilarang.[4]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Syarat
– syarat Mufassir diantaranya adalah : Berakidah yang benar, Mampu mengekang
hawa nafsu, menafsirkan ayat dengan ayat terlebih dahulu, merujuk pendapat
sahabat, merujuk pendapat tabi’in, menguasai bahasa Arab, dll
Ilmu
yang diperlukan oleh seorang mufassir antara lain : ilmu nahwu, shorof,
ushuluddin, fikh, qiraat, asbabun nuzul, dll.
DAFTAR
PUSTAKA
Manna’ Khalil al Qathhan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an
(diterjemehkan dari B. Arab oleh Drs.Mudzakir AS), (Bogor : Pustaka Litera
Antar Nusa, 2009)
Fahmi Amrullah, ilmu Al Qur’an untuk Pemula,
(Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008),
Membangun Tradisi Ilmu dan Amal, Studi Tentang
Syarat-syarat Mufassir Al Qur’an dalam http://gedublaks.multiply.com/journal/item/24/STUDI_TENTANG_SYARAT-SYARAT_MUFASSIR_AL-QURAN,
di akses 20 september 2013
[1] Yakni:
perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam
Al Quran.
[2] Manna’
Khalil al Qathhan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (diterjemehkan dari B. Arab
oleh Drs.Mudzakir AS), (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2009) h. 462-464
[3] Fahmi
Amrullah, ilmu Al Qur’an untuk Pemula, (Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008),
h.79-80
[4] Membangun Tradisi Ilmu dan Amal, Studi
Tentang Syarat-syarat Mufassir Al Qur’an dalam http://gedublaks.multiply.com/journal/item/24/STUDI_TENTANG_SYARAT-SYARAT_MUFASSIR_AL-QURAN, di akses 27 september 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar