Rabu, 04 November 2015

BIOGRAFI SINGKAT: AL-IMAM ABU AL HASAN AL-ASY’ARI

AL-IMAM ABU AL HASAN AL-ASY’ARI:
DARI MU’TAZILAH KEMBALI KE AHLUSSUNNAH WAJ-JAMA’AH[1]
Nama lengkapnya adalah Abu Al Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais Al Asy’ari. Nama Al Asy’ari merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-laki dari suku Qahthan yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman. Dari suku Asy’ar ini, lahir seorang sahabat terkemuka dan dikenal sangat alim, sehingga termasuk salah satu fuqaha di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu: Abu Musa Abdullah bin Qaisy Al Asy’ari RA, yang dilahirkan pada 22 tahun sebelum Hijriyah dan wafat pada tahun 44 Hijriyah/665 Masehi.
Negri Yaman yang memiliki peradaban yang relative lebih maju pada masa-masa awal Islam, melebihi daerah-daerah lain di semenanjung Arabia, memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan kultur dan karakter penduduk Yaman, yang mudah mematuhi dan menerima kebenaran, menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan selalu berfikir positif terhadap keadaan yang dihadapi. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan beberapa hadits shahih yang menjelaskan keutamaan penduduk Yaman. Dalam beberapa hadits dijelaskan, ketika Abu Musa Al Asy’ari akan dating ke Madinah bersama rombongannya dari suku Al Asy’ari, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Keimanan yang sempurna itu dating dari Yaman dan hikmah juga dating dari Yaman. Akan datang penduduk Yaman, hati mereka lebih halus dan lebih lembut (dari pada hati kalian)”. (HR.  Bukhari dan Muslim). Dan tak lama kemudian, Abu Musa Al Asy’ari datang bersama rombongannya dari Yaman.
Menurut pandangan Al Imam Al Hafidz Al Baihaqi dan selainnya, bahwa karakter Al Imam Abu Hasan Al Asy’ari yang gemar mendalami ilmu akidah dan mengantarkannya menjadi pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam bidang akidah, merupakan karakter bawaan dari leluhurnya yang memiliki cita-cita yang luhur untuk menguasai ilmu pengetahuan dan mendalami persoalan akidah yang sangat penting dengan bertanya secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tidak aneh apabila di kemudian hari, dari kalangan suku Al Asy’ari lahir seorang ulama yang menjadi pemimpin Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam memahami dan mempertahankan akidah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, yaitu: Al Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari.
Dari Mu’tazilah ke Ahlussunnah Wal-Jama’ah
            Al Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari mengikuti aliran Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun. Namun kemudian setelah sekian lama menjadi tokoh Mu’tazilah dan tidak jarang mewakili gurunya Abu Ali Al Jubba’i dalam forum-forum perdebadan, akhirnya Al Asy’ari keluar dari aliran Mu’tazilah dan kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Pertanyaan yang patut dikemukakan di sini adalah: “Apakah latar belakang keluarnya Al Asy’ari dari Mu’tazilah dan kembali kepada Ahlussunnah Wal-Jama’ah ?
            Menurut data sejarah yang disampaikan oleh para ulama, seperti Al Hafidz Ibn Asakir Al Dimasyki, Syamsuddin Ibn Khallikan, Al Imam Tajuddin Al Subki dan lain-lain, setidaknya ada dua hal yang melatar belakangi perpindahan Al Asy’ari dari Mu’tazilah ke Ahlusunnah Wal-Jama’ah.
            Pertama, ketidak puasan Al Asy’ari terhadap ideologi Mu’tazilah yang selalu mendahulukan akal, tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan argumentasi akal yang sama. Ketidak puasan Al Asy’ari tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain riwayat yang menyatakan bahwa, sebelum Al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, dia tidak keluar rumah selama 15 hari. Kemudian pada hari Jum’at setelahnya, dia keluar ke Masjid Jami’ dan menaiki mimbar dengan berpidato: “Sebenarnya saya telah menghilang dari kalian selama 15 hari ini. Selama itu saya meneliti dalil-dalil semua ajaran yang ada. Ternyata saya tidak menemukan jalan keluar. Dalil yang satu tidak lebih kuat daripada dalil yang lain. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah SWT, dan ternyata Allah memberikan petunjuk-Nya kepadaku untuk meyakini apa yang saya tulis dalam beberapa kitab ini. Mulai saat ini, aku mencabut semua ajaran yang selama ini aku yakini”. Kemudian Al Asy’ari menyerahkan beberapa kitab yang ditulisnya sesuai dengan madzhab Ahlussunnah Waj-Jama’ah kepada orang-orang di sana. Di antaranya adalah kitab Al Luma’ fii Al Radd ala Ahl Al Zaygh wa Al Bida’, kitab yang memaparkan kerancauan Mu’tazilah yang berjudul Kasyf Al Astar wa Hatk Al Asrar, dan kitab-kitab lain.
            Ketidak puasan Al Asy’ari dengan faham Mu’tazilah tersebut dapat pula dilihat dengan memperhatikan riwayat lain yang mengisahkan perdebatannya dengan Abu Ali Al Jubba’i, gurunya. Suatu ketika Al Asy’ari berdialog dengan Al Jubba’i:
            Al Asy’ari: “Bagaimana pendapatmu tentang nasib tiga orang yang meninggal dunia, satunya mukmin, satunya orang kafir, dan yang satunya anak kecil?”
            Al Jubba’i: “Orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka, dan anak kecil akan selamat”.
            Al Asy’ari: “Mungkinkah anak kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah?”.
            Al Jubba’i: “Oh, tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada anak itu, “ Orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya, sedangkan kamu belum sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu.”
            Al Asy’ari: Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata, “Tuhan, demikian itu bukan salahku. Andaikan Engkau memberiku umur panjang, tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu.”
            Al Jubba’i: “Oh tidak bisa, Allah akan menjawab, “Oh, bukan begitu, justru Aku telah mengetahui, bahwa apabila kamu diberikan umur panjang, maka kamu akan durhaka, sehingga nantinya kamu akan disiksa. Oleh karena itu, demi menjaga masa depanmu, Aku matikan kamu sewaktu masih kecil, sebelum kamu menginjak usia taklif.”
            Al Asy’ari: “Bagaimana seandainya orang kafir itu menggugat kepada Allah dengan berkata, “Tuhan, Engkau telah mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku. Tetapi mengapa Engkau tidak memperhatikan masa depanku, dengan mematikan aku sewaktu masih kecil dulu, sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu, dan mengapa Engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi orang kafir dan akhirnya aku disiksa seperti sekarang ini?.”
            Mendengar pertanyaan Al Asy’ari ini, Al Jubba’i menghadapi jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban. Al Jubba’i hanya berkata: “Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada.”
Al Asy’ari: “Aku tidak bermaksud merusak keyakinan yang selama ini anda yakini. Akan tetapi, guru tidak mampu menjawab pertanyaanku.”
            Kedua, bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika, pada permulaan bulan Ramadhan, Al Asy’ari tidur dan bermimpi bertemu Nabi SAW. Beliau bersabda: “Wahai Ali, tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar.” Setalah terbangun, Al Asy’ari merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya. Dia terus memikirkan apa yang dialaminya dalam mimpi. Pada pertengahan bulan Ramadhan, dia bermimpi lagi bertemu Nabi SAW, Beliau berkata: “Apa yang telah kamu lakukan dengan perintahku dulu?.” Al Asy’ari menjawab: “Aku telah  memberikan pengertian yang benar terhadap pendapat pendapat yang diriwayatkan darimu”. Nabi bersabda: ”Tolanglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar.” Setelah terbangun dari tidurnya’ al-Asy’ari merasa sangat terbebani dengan mimpi itu. Sehingga dia bermaksud meninggalkan ilmu kalam. Dia akan terus mengikuti hadist dan terus membaca Al Qur’an.Tetapi pada malam 27 Ramadhan, tidak seperti biasanya, rasa kantuk yang begitu hebat menyerangnya, sehingga diapun tertidur dengan rasa kesal di hatinya, karena telah meninggalkan kebiasannya tidak tidur malam untuk beribadah kepada Allah. Dalam tidur itu dia bermimpi bertemu dengan Nabi untuk ke tiga kalinya. Nabi berkata apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu.?” Ia menjawab: “Aku telah meninggalkan ilmu kalam, dan aku konsentrasi menekuni Al Quran dan hadis.” Nabi berkata: “Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam. Tetapi aku hanya memerintahkanmu untuk menolong pendapat- pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar. “Ia menjawab wahai Rasulullah, bagaimana aku mampu meninggalkan madzhab yang telah  aku ketahui masalah-masalah  dan dalil-dalilnya sejak tiga puluh tahun  yang lalu hanya karna mimpi? Nabi berkata: “Andai aku tidak tau bahwa Allah akan menolongmu dengan pertolongan-Nya, tentu aku menjelaskan kepadamu semua jawaban masalah-masalah (ajaran Mu’tazilah) itu. Bersungguh sungguhlah kamu dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan pertolongan-Nya.” Setelah bangun dari tidurnya, Al Asy’ari berkata: ”Selain kebenaran pasti hanya kesesatan.” Lalu dia mulai membela hadist-hadist yang berkaitan dengan ru’yah ( melihat Allah di ahirat), syafa’at dan lain-lain. Ternyta setelah itu. AlAsy’ari mampu memaparkan kajian-kajian dan dalil-dalil yang belum pernah di pelajarinya dari seorang guru, tidak dapat dibantah oleh lawan dan belum pernah dibacanya dalam suatu kitab. (Akhi Dziya’ Ul Azman)







[1] Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al Asy’ari Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah?, (Surabaya: Kalista, 2009), 12-23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar