AL-IMAM ABU AL
HASAN AL-ASY’ARI:
DARI MU’TAZILAH KEMBALI
KE AHLUSSUNNAH WAJ-JAMA’AH[1]
Nama
lengkapnya adalah Abu Al Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin
Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah
bin Qais Al Asy’ari. Nama Al Asy’ari merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama
seorang laki-laki dari suku Qahthan yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal
di Yaman. Dari suku Asy’ar ini, lahir seorang sahabat terkemuka dan dikenal
sangat alim, sehingga termasuk salah satu fuqaha di kalangan sahabat
Nabi Muhammad SAW, yaitu: Abu Musa Abdullah bin Qaisy Al Asy’ari RA, yang
dilahirkan pada 22 tahun sebelum Hijriyah dan wafat pada tahun 44 Hijriyah/665
Masehi.
Negri
Yaman yang memiliki peradaban yang relative lebih maju pada masa-masa awal
Islam, melebihi daerah-daerah lain di semenanjung Arabia, memberikan pengaruh
positif terhadap pembentukan kultur dan karakter penduduk Yaman, yang mudah
mematuhi dan menerima kebenaran, menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan
dan selalu berfikir positif terhadap keadaan yang dihadapi. Hal ini dapat kita
lihat dengan memperhatikan beberapa hadits shahih yang menjelaskan keutamaan
penduduk Yaman. Dalam beberapa hadits dijelaskan, ketika Abu Musa Al Asy’ari
akan dating ke Madinah bersama rombongannya dari suku Al Asy’ari, Nabi Muhammad
SAW bersabda: “Keimanan yang sempurna itu dating dari Yaman dan hikmah juga
dating dari Yaman. Akan datang penduduk Yaman, hati mereka lebih halus dan
lebih lembut (dari pada hati kalian)”. (HR.
Bukhari dan Muslim). Dan tak lama kemudian, Abu Musa Al Asy’ari datang
bersama rombongannya dari Yaman.
Menurut
pandangan Al Imam Al Hafidz Al Baihaqi dan selainnya, bahwa karakter Al Imam
Abu Hasan Al Asy’ari yang gemar mendalami ilmu akidah dan mengantarkannya
menjadi pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam bidang akidah, merupakan
karakter bawaan dari leluhurnya yang memiliki cita-cita yang luhur untuk
menguasai ilmu pengetahuan dan mendalami persoalan akidah yang sangat penting
dengan bertanya secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka
tidak aneh apabila di kemudian hari, dari kalangan suku Al Asy’ari lahir
seorang ulama yang menjadi pemimpin Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam
memahami dan mempertahankan akidah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan
sahabatnya, yaitu: Al Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari.
Dari Mu’tazilah
ke Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Al Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari
mengikuti aliran Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun. Namun kemudian setelah
sekian lama menjadi tokoh Mu’tazilah dan tidak jarang mewakili gurunya Abu Ali
Al Jubba’i dalam forum-forum perdebadan, akhirnya Al Asy’ari keluar dari aliran
Mu’tazilah dan kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Pertanyaan
yang patut dikemukakan di sini adalah: “Apakah latar belakang keluarnya Al
Asy’ari dari Mu’tazilah dan kembali kepada Ahlussunnah Wal-Jama’ah ?
Menurut data sejarah yang
disampaikan oleh para ulama, seperti Al Hafidz Ibn Asakir Al Dimasyki,
Syamsuddin Ibn Khallikan, Al Imam Tajuddin Al Subki dan lain-lain, setidaknya
ada dua hal yang melatar belakangi perpindahan Al Asy’ari dari Mu’tazilah ke Ahlusunnah
Wal-Jama’ah.
Pertama, ketidak puasan Al
Asy’ari terhadap ideologi Mu’tazilah yang selalu mendahulukan akal, tetapi
tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan argumentasi akal
yang sama. Ketidak puasan Al Asy’ari tersebut dapat dilihat dengan
memperhatikan beberapa hal, antara lain riwayat yang menyatakan bahwa, sebelum
Al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, dia tidak keluar rumah selama 15 hari.
Kemudian pada hari Jum’at setelahnya, dia keluar ke Masjid Jami’ dan menaiki
mimbar dengan berpidato: “Sebenarnya saya telah menghilang dari kalian selama
15 hari ini. Selama itu saya meneliti dalil-dalil semua ajaran yang ada.
Ternyata saya tidak menemukan jalan keluar. Dalil yang satu tidak lebih kuat
daripada dalil yang lain. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah SWT, dan
ternyata Allah memberikan petunjuk-Nya kepadaku untuk meyakini apa yang saya
tulis dalam beberapa kitab ini. Mulai saat ini, aku mencabut semua ajaran yang
selama ini aku yakini”. Kemudian Al Asy’ari menyerahkan beberapa kitab yang
ditulisnya sesuai dengan madzhab Ahlussunnah Waj-Jama’ah kepada
orang-orang di sana. Di antaranya adalah kitab Al Luma’ fii Al Radd ala Ahl
Al Zaygh wa Al Bida’, kitab yang memaparkan kerancauan Mu’tazilah yang
berjudul Kasyf Al Astar wa Hatk Al Asrar, dan kitab-kitab lain.
Ketidak puasan Al Asy’ari dengan
faham Mu’tazilah tersebut dapat pula dilihat dengan memperhatikan riwayat lain
yang mengisahkan perdebatannya dengan Abu Ali Al Jubba’i, gurunya. Suatu ketika
Al Asy’ari berdialog dengan Al Jubba’i:
Al Asy’ari: “Bagaimana pendapatmu
tentang nasib tiga orang yang meninggal dunia, satunya mukmin, satunya orang
kafir, dan yang satunya anak kecil?”
Al Jubba’i: “Orang mukmin akan memperoleh
derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka, dan anak kecil akan selamat”.
Al Asy’ari: “Mungkinkah anak kecil
tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah?”.
Al Jubba’i: “Oh, tidak mungkin,
karena Allah akan berkata kepada anak itu, “ Orang mukmin itu memperoleh
derajat yang tinggi karena amalnya, sedangkan kamu belum sempat beramal. Jadi
kamu tidak bisa memperoleh derajat itu.”
Al Asy’ari: Bagaimana kalau anak
kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata, “Tuhan, demikian itu bukan
salahku. Andaikan Engkau memberiku umur panjang, tentu aku akan beramal seperti
orang mukmin itu.”
Al Jubba’i: “Oh tidak bisa, Allah
akan menjawab, “Oh, bukan begitu, justru Aku telah mengetahui, bahwa apabila
kamu diberikan umur panjang, maka kamu akan durhaka, sehingga nantinya kamu
akan disiksa. Oleh karena itu, demi menjaga masa depanmu, Aku matikan kamu
sewaktu masih kecil, sebelum kamu menginjak usia taklif.”
Al Asy’ari: “Bagaimana seandainya
orang kafir itu menggugat kepada Allah dengan berkata, “Tuhan, Engkau telah
mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku. Tetapi mengapa
Engkau tidak memperhatikan masa depanku, dengan mematikan aku sewaktu masih
kecil dulu, sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu,
dan mengapa Engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi orang
kafir dan akhirnya aku disiksa seperti sekarang ini?.”
Mendengar pertanyaan Al Asy’ari ini,
Al Jubba’i menghadapi jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban. Al
Jubba’i hanya berkata: “Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada.”
Al
Asy’ari: “Aku tidak bermaksud merusak keyakinan yang selama ini anda yakini.
Akan tetapi, guru tidak mampu menjawab pertanyaanku.”
Kedua, bermimpi bertemu Nabi
Muhammad SAW. Suatu ketika, pada permulaan bulan Ramadhan, Al Asy’ari tidur dan
bermimpi bertemu Nabi SAW. Beliau bersabda: “Wahai Ali, tolonglah
pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar.” Setalah
terbangun, Al Asy’ari merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya. Dia
terus memikirkan apa yang dialaminya dalam mimpi. Pada pertengahan bulan
Ramadhan, dia bermimpi lagi bertemu Nabi SAW, Beliau berkata: “Apa yang telah
kamu lakukan dengan perintahku dulu?.” Al Asy’ari menjawab: “Aku telah memberikan pengertian yang benar terhadap
pendapat pendapat yang diriwayatkan darimu”. Nabi bersabda: ”Tolanglah
pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar.” Setelah
terbangun dari tidurnya’ al-Asy’ari merasa sangat terbebani dengan mimpi itu.
Sehingga dia bermaksud meninggalkan ilmu kalam. Dia akan terus mengikuti hadist
dan terus membaca Al Qur’an.Tetapi pada malam 27 Ramadhan, tidak seperti
biasanya, rasa kantuk yang begitu hebat menyerangnya, sehingga diapun tertidur
dengan rasa kesal di hatinya, karena telah meninggalkan kebiasannya tidak tidur
malam untuk beribadah kepada Allah. Dalam tidur itu dia bermimpi bertemu dengan
Nabi untuk ke tiga kalinya. Nabi berkata apa yang kamu lakukan dengan perintahku
dulu.?” Ia menjawab: “Aku telah meninggalkan ilmu kalam, dan aku konsentrasi
menekuni Al Quran dan hadis.” Nabi berkata: “Aku tidak menyuruhmu meninggalkan
ilmu kalam. Tetapi aku hanya memerintahkanmu untuk menolong pendapat- pendapat
yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar. “Ia menjawab wahai Rasulullah,
bagaimana aku mampu meninggalkan madzhab yang telah aku ketahui masalah-masalah dan dalil-dalilnya sejak tiga puluh
tahun yang lalu hanya karna mimpi? Nabi
berkata: “Andai aku tidak tau bahwa Allah akan menolongmu dengan pertolongan-Nya,
tentu aku menjelaskan kepadamu semua jawaban masalah-masalah (ajaran Mu’tazilah)
itu. Bersungguh sungguhlah kamu dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan
pertolongan-Nya.” Setelah bangun dari tidurnya, Al Asy’ari berkata: ”Selain
kebenaran pasti hanya kesesatan.” Lalu dia mulai membela hadist-hadist yang
berkaitan dengan ru’yah ( melihat Allah di ahirat), syafa’at dan
lain-lain. Ternyta setelah itu. AlAsy’ari mampu memaparkan kajian-kajian dan
dalil-dalil yang belum pernah di pelajarinya dari seorang guru, tidak dapat
dibantah oleh lawan dan belum pernah dibacanya dalam suatu kitab. (Akhi
Dziya’ Ul Azman)
[1]
Muhammad
Idrus Ramli, Madzhab Al Asy’ari Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah?,
(Surabaya: Kalista, 2009), 12-23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar