Rabu, 04 November 2015

IJARAH (MAKALAH SEMESTER 5) RIFQIL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ijarah merupakan sebuah transaksi yang memperjual-belikan manfaat suatu harta benda, sedangkan kepemilikan pokok benda itu tetap pada pemiliknya. Transaksi Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai sebuah kebutuhan yang tidak mungkin sirna bagi manusia, bahkan semakin berkembang dengan berbagai model transaksi baru, Ijarah tidak lepas dari perhatian para Fuqaha’, yang diantaranya pembahasan ta’rif al-ijar dan rukun-rukun Ijarah.
Telah maklum bahwa sumber hukum yang pertama dan utama bagi syariat yang di bawah oleh kakeknya sayyidina Hasan dan Husen adalah Al Quran. Di dalam kitab suci ini, segala lini kehidupan telah disinggung tanpa dialpakan satupun oleh Allah. Selain beribadah, untuk memenuhi kebutuhan hidup, kita diwajibkan untuk bekerja mencari rezeki yang telah Allah karuniakan kepada kita. Para Fuqaha’ dan pakar ekonomi Islam, kaitannya dengan Ijarah pun tidak lepas dan senantiasa berpijak pada sumber rujukan yang pertama ini. Dalil-dalil yang menyinggung Ijarah terkadang tidak menjelaskannya secara sharih, sehingga butuh kejelihan seseorang untuk menganalisis dalil-dalil ayat tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Sebutkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang Ijarah?
2.      Apa pengertian Ijarah?
3.      Apa saja rukun Ijarah?
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Ayat-Ayat Ijarah
  1. QS. At Taubah (9):105.
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan. (QS. At Taubah: 105)[1]
Ayat di atas menjelaskan kewajiban manusia untuk bekerja secara globlal. Banyak bentuk muamalah yang dikerjakan manusia guna memenuhi kebutuhan mereka. Ayat ini menurut pemakalah dapat dijadikan pijakan Ijarah, karena Ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah yang dilakukan manusia untuk memenuhi hajat mereka.
  1. QS. At Thalaq (65): 6
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. At Thalaq: 6)[2]
Kata kunci yang perlu diperhatikan dalam memahami ayat ini ialah lafazd ardha’na yang berarti mereka menyusukan, fa’atuhunna yang berarti maka berilah kepada mereka, dan ujurahunna yang artinya upah mereka.
Ayat ke enam dari surat At Thalaq ini masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya (QS. al-Thalaq (65): 1-5) yang di antaranya menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan istri yang dicerai.
Pada awal ayat ke enam ini menjelaskan kewajiban para suami memberikan tempat tinggal yang layak kepada para istri yang sedang menjalani masa ‘iddah sesuai dengan kemampuan suami. Allah berfirman:
وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka”
Tidak diperkenankan bagi seorang suami untuk mempersulit dan menyempitkan hati istri dengan memberikan tempat tinggal yang tidak layak. Apabila istri yang di talak ba’in sedang hamil, maka wajib memberikan nafkah hingga istri melahirkan. Karena masa berhentinya ‘iddah ialah ketika mereka melahirkan. Sebagaimana termaktub dalam firmanNya:
فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”
Apabila anaknya telah lahir, maka harus dimusyawarahkan mengenai kesehatan terutama air susu ibu. Meskipun masa ‘iddah telah selesai, seorang ibu sebaiknya tetap menyusui anaknya dan mantan suaminya wajib memberikan upah padanya. Sesuai dengan firman Allah:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya”
Berdasarkan prinsip ushuliyah bahwa perintah menunjukkan makna wajib, perintah dalam ayat ini bermakna sebuah kewajiban untuk memberikan upah dan ditujukan kepada para suami yang tetap memberikan nafkah yaitu atas upah menyusui anaknya dengan harga yang berlaku pada umumnya meskipun istri tersebut masa ‘iddah-nya telah selesai. Pemberian upah tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan mantan istrinya. Upah ini serupa dengan ketentuan upah pada transaksi lainnya.[3]
Penutup ayat ini memberitahukan bahwa apabila di antara keduanya (mantan suami dan istri), tidak menyepakati hal tersebut maka suami diperkenankan memilih dan mempekerjakan wanita lain untuk menyusui anaknya tersebut.
وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”
Kewajiban seorang Ayah memberikan upah kepada perempuan yang telah menyusui anaknya ialah berdasarkan kemampuan. Ketentuan ini termaktub dalam ayat berikutnya, QS. At Thalaq (65): 7,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At Thalaq: 7)[4]
Dalam buku al-Quran wa Tafsiruh yang diterbitkan departemen agama RI. disebutkan apabila kemampuan ayah itu hanya bisa memberikan makan karena rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya.[5] Hal ini karena Allah swt. tidak akan memikulkan beban kepada seorang hamba melebihi batas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Baqarah (2): 286,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...الأية
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...”
Tiada yang abadi di dunia ini, pada suatu waktu, Allah swt akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan, kekayaan sesudah kemiskinan, kecerdasan sesudah kebodohan, kebahagian sesudah penderitaan. Allah berfirman dalam QS. Al Israq (94): 6,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
  1. QS. Al-Qashash (28): 26
Ayat ketiga yang mengindikasikan disyariatkannya Ijarah ialah QS. Al Qashash (28): 26,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al Qashash: 26)
Ayat ini merupakan salah satu bagian ayat yang menceritakan kisah Nabi Musa ketika hijrah ke Negeri Madyan karena akan dibunuh oleh Fir’aun dan anak buahnya.
Sebelum membahas QS. Al-Qashash (28): 26 diatas, karena ayat tersebut ialah sebuah cerita sunah nabi Musa ‘alaih al-salam yang dalam pandangan ulama’ Islam diistilahkan dengan syar’u man qablana, maka, perlu kiranya kami sampaikan pembahasan syariat umat terdahulu yang bisa dijadikan pijakan istidlal.
Wahbah al-Zuhailiy mengatakan bahwa Syar’u man qablana ialah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada umat terdahulu melalui perantara para nabi mereka seperti nabi Ibrahim, Musa, Dawud, dan Isa ‘alaihim al-salam.[6] Masih dalam sumber yang sama, Wahbah membagi syar’u man qablana menjadi dua macam serta penjelasannya sebagai berikut:
a)      Hukum-hukum tidak disebutkan dalam syariat kita baik dalam Al Quran ataupun Al Sunah. Syariat yang seperti ini tidak termasuk syariat bagi kita berdasarkan ittifaq.
b)      Hukum-hukum yang disebut dalam Al Quran dan Al Sunah. Pembagian kedua ini kemudian dispesifikasikan lagi menjadi tiga macam yang mencakup:
1)                  Hukum-hukum yang telah di nasakh oleh syariat kita. Hukum-hukum tersebut juga bukan termasuk syariat kita. Seperti hukum yang terkandung dalam QS. Al An’am (6); 146,
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
“Dan kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar.” (QS. Al An’am: 146)
2)      Hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat kita. Hukum-hukum tersebut berlaku pada kita umat nabi Muhammad Saw. Semisal hukum berpuasa yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah (2); 183,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183)
Contoh lainnya ialah hukum berkurban yang merupakan syariat bapak kita nabi Ibrahim ‘alaih al-salam .
3)      Hukum-hukum yang diceritakan oleh Allah swt kepada kita dalam Al Quran atau disampaikan melalui nabi Muhammad saw., tanpa adanya pengingkaran dan penetapan terhadap hukum tersebut. Pembagian ketiga inilah yang kemudian menjadi perdebatan diantara ulama’. Contohnya hukum qishash dalam syariat Yahudi yang termaktub dalam QS. Al-Maidah (5): 45,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 45)
Terhadap klasifikasi yang ketiga ini para ulama’ terpilah menjadi dua kubu, dimana mayoritas Hanafiyah, malikiyah, sebagian Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat yang kuat berpendapat bahwa hukum-hukum tersebut termasuk syariat bagi kita. Sedangkan Syafi’iyah berdasarkan pendapat yang kuat menurut mereka, Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa syar’u man qablana bukanlah termasuk syariat kita.[7]
Menurut pemakalah, QS. Al Qashash (28): 26 dengan didukung oleh dalil-dalil lain tentang Ijarah baik dari Al Quran maupun Sunah Nabi, termasuk dalam klasifikasi syar’u man qablana bagian kedua, yakni hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat kita dan hukum-hukum tersebut berlaku pada kita umat nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana ayat sebelumnya, dalam memahami QS. Al Qashash (28): 26, juga perlu untuk diperhatikan beberapa kata kunci sebagai berikut:
Ista’jirhu              : Ambillah upahan dia sebagai pekerja
Ista’jarta             : Engkau ambil upahan sebagai pekerja
Al Qawiyu           : yang kuat
Al Aminu             : dapat dipercaya
QS. Al Qashash (28): 26, menjelaskan tentang nabi Musa ‘alaih al-salam yang hendak diangkat sebagai pekerja pada keluarga seorang yang saleh dan memiliki dua orang anak perempuan. Sebelumnya nabi Musa telah membantu kedua wanita tersebut saat mengambilkan air untuk minum ternak mereka. Kisah tersebut sebagaimana termaktub dalam firman-Nya QS. Al Qashash (28): 22 sampai 25.
Dalam bukunya, Dwi Swiknyo, SEI. Menjelaskan bahwa saat pertemuan itulah nabi Musa ‘alaih al-salam mendapatkan tawaran menjadi pekerja dikeluarga itu untuk mengurus ternak, salah satu dari dua perempuan tersebut berkata pada ayahnya dalam memberikan pertimbangan untuk mempekerjakan Musa, sebagaimana firman Allah:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ
“Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita)”
Pertimbangan untuk menjadikan Musa pekerja dikeluarga itu Karena Musa ‘alaih al-salam mempunyai tubuh yang kuat dan dapat dipercaya.
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya.”
B.     Defenisi Ijarah
Ijarah berasal dari kata al-ajr yang berarti sama dengan kata al-‘iwadh yaitu ganti rugi atau upah. Menurut Dr. Helmi Karim, Ijarah dalam pandangan syara' berarti akad atas manfaat dengan imbalan atau tukaran dengan syarat-syarat tertentu. Dalam arti luas, Ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.[8]
Sedangkan Dwi Suwiknyo, SEI. dalam bukunya Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, memberikan makna Ijarah dengan arti akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Mu’ajir memberikan upah atau uang sewa kepada musta’jir, sehingga musta’jir mengakui pendapatan sewa atau upah.[9] Misalnya, transaksi mahasiswa yang menyewa rumah untuk kos tempat tinggalnya selama kuliah atau para pekerja yang mendapatkan upah atau gaji setiap bulannya. Dalam Al Quran bentuk kalimat kerja Ijarah yakni ista’jartu disebut dalam QS. Qhashas (28); 26,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".(QS. Al Qashash: 26)[10]
Di dalam kitab Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh karya Dr. Wahbah al-Zuhailiy. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Ijarah menurut etimologi adalahبيع المنفعة   yang artinya menjual manfa’at. Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Mengutip pendapat mazdahib al-arba’ah, beliau, Dr. Wahbah al-Zuhailiy memilah:
1.       Ulama Syafi’iyah memberikan defenisi Ijarah sebagai berikut:
الايجار هو عقد على منفعة مقصودة معلومة محابة قابلة للبذل والاباحة بعوض معلوم
Ijarah adalah ‘akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
2.       Ijarah menurut ulama Hanafiyah:
الايجار هو عقد علي المنا فع بعوض
Ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
3.       Ulama Malikiyah yang juga diamini oleh Hanabilah mendefinisikan Ijarah:
الايجار هو تمليك منا فع شيئ مباحة مدة معلومة بعوض
Ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan mengganti.”[11]
Ada yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.[12]
Mayoritas ulama’ fiqh berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaat, dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, dan lain sebagainya, yang semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.
Secara garis besar dapat pemakalah simpulkan, pengertian Ijarah adalah: seorang yang saling melakukan akad sewa barang untuk diambil manfaatnya, bukan mengalihkan kepemilikan barang tersebut (baca: jual beli jasa).
  1. Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul yang antara lain dengan menggunakan kalimat al-ijar dan al-isti’jar. Adapun menurut jumhur ulama’, rukun Ijarah ada empat, yaitu:
1.      ‘Aqidain (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa sesuatu atau menerima upah).
2.      Shighat akad yaitu ijab dan qabul antara mu’jir dan musta’jir
3.      Ujrah (upah)
4.      Ma’qudalaih (Manfaat berupa barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)[13]


BAB III
KESIMPULAN
  1. QS. At Taubah (9):105, QS. At Thalaq (65): 6, QS. Al-Qashash (28): 26
  2. seorang yang saling melakukan akad sewa barang untuk diambil manfaatnya, bukan mengalihkan kepemilikan barang tersebut (baca: jual beli jasa).
  3. Aqidain (seorang yang menyewakan dan yang menyewa barang), shighat aqad (ijab qabul), ujrah (upah), dan ma’qudalaih (Manfaat berupa barang yang disewakan).












DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhailiy, Wahbah, 1987, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr)
Departemen Agama RI, 1998, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra
Departemen Agama RI, 2009, Al-Quran wa Tafsiruhu, (Lembaga Percetakan al-Quran Departemen Agama)
Suwiknyo, Dwi, 2010, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, (Jogjakarta: Pustaka pelajar)








[1] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya.273
[2] Ibid. 817
[3] Dwi suwikno, … 108-109
[4] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya. 817
[5] Departemen Agama RI,  Al-Quran wa Tafsiruhu, (Lembaga Percetakan al-Quran Departemen Agama 2009), 10/190
[6] Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiz Fiy Ushul al-Fiqh, (Lebanon, Beirut: Dar al-Fikr, 1999), 101
[7] Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiz..... 101-103
[8] Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 29
[9] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, (Jogjakarta: Pustaka pelajar, 2010), hlm. 106

[10] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1998).
[11] Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1987), juz 4, hlm. 731-732

[12] Rachmat Syafe’i. Fiqh Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.122.
[13] Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh …juz 4, hlm. 731

Tidak ada komentar:

Posting Komentar