BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijarah
merupakan sebuah transaksi yang memperjual-belikan manfaat suatu harta benda,
sedangkan kepemilikan pokok benda itu tetap pada pemiliknya. Transaksi Ijarah
merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yang banyak dilakukan manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai
sebuah kebutuhan yang tidak mungkin sirna bagi manusia, bahkan semakin
berkembang dengan berbagai model transaksi baru, Ijarah tidak lepas dari
perhatian para Fuqaha’, yang diantaranya pembahasan ta’rif al-ijar
dan rukun-rukun Ijarah.
Telah
maklum bahwa sumber hukum yang pertama dan utama bagi syariat yang di bawah
oleh kakeknya sayyidina Hasan dan Husen adalah Al Quran. Di dalam kitab suci
ini, segala lini kehidupan telah disinggung tanpa dialpakan satupun oleh Allah.
Selain beribadah, untuk memenuhi kebutuhan hidup, kita diwajibkan untuk bekerja
mencari rezeki yang telah Allah karuniakan kepada kita. Para Fuqaha’ dan
pakar ekonomi Islam, kaitannya dengan Ijarah pun tidak lepas dan
senantiasa berpijak pada sumber rujukan yang pertama ini. Dalil-dalil yang
menyinggung Ijarah terkadang tidak menjelaskannya secara sharih,
sehingga butuh kejelihan seseorang untuk menganalisis dalil-dalil ayat
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan
ayat-ayat yang menjelaskan tentang Ijarah?
2. Apa
pengertian Ijarah?
3. Apa
saja rukun Ijarah?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Ayat-Ayat
Ijarah
- QS.
At Taubah (9):105.
وَقُلِ اعْمَلُوا
فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى
عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Katakanlah:
"Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang Telah kamu kerjakan. (QS. At Taubah: 105)[1]
Ayat
di atas menjelaskan kewajiban manusia untuk bekerja secara globlal. Banyak
bentuk muamalah yang dikerjakan manusia guna memenuhi kebutuhan mereka.
Ayat ini menurut pemakalah dapat dijadikan pijakan Ijarah, karena Ijarah
merupakan salah satu bentuk muamalah yang dilakukan manusia untuk
memenuhi hajat mereka.
- QS.
At Thalaq (65): 6
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَى
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
(QS. At Thalaq: 6)[2]
Kata
kunci yang perlu diperhatikan dalam memahami ayat ini ialah lafazd ardha’na
yang berarti mereka menyusukan, fa’atuhunna yang berarti maka berilah kepada
mereka, dan ujurahunna yang artinya upah mereka.
Ayat
ke enam dari surat At Thalaq ini masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya
(QS. al-Thalaq (65): 1-5) yang di antaranya menjelaskan tentang
ketentuan-ketentuan istri yang dicerai.
Pada
awal ayat ke enam ini menjelaskan kewajiban para suami memberikan tempat
tinggal yang layak kepada para istri yang sedang menjalani masa ‘iddah
sesuai dengan kemampuan suami. Allah berfirman:
وَلَا تُضَارُّوهُنَّ
لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Dan
janganlah kamu menyusahkan mereka”
Tidak
diperkenankan bagi seorang suami untuk mempersulit dan menyempitkan hati istri
dengan memberikan tempat tinggal yang tidak layak. Apabila istri yang di talak ba’in
sedang hamil, maka wajib memberikan nafkah hingga istri melahirkan. Karena masa
berhentinya ‘iddah ialah ketika mereka melahirkan. Sebagaimana termaktub
dalam firmanNya:
فَأَنْفِقُوا
عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”
Apabila
anaknya telah lahir, maka harus dimusyawarahkan mengenai kesehatan terutama air
susu ibu. Meskipun masa ‘iddah telah selesai, seorang ibu sebaiknya
tetap menyusui anaknya dan mantan suaminya wajib memberikan upah padanya.
Sesuai dengan firman Allah:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ
لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya”
Berdasarkan
prinsip ushuliyah bahwa perintah menunjukkan makna wajib, perintah dalam
ayat ini bermakna sebuah kewajiban untuk memberikan upah dan ditujukan kepada
para suami yang tetap memberikan nafkah yaitu atas upah menyusui anaknya dengan
harga yang berlaku pada umumnya meskipun istri tersebut masa ‘iddah-nya
telah selesai. Pemberian upah tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
mantan istrinya. Upah ini serupa dengan ketentuan upah pada transaksi lainnya.[3]
Penutup
ayat ini memberitahukan bahwa apabila di antara keduanya (mantan suami dan
istri), tidak menyepakati hal tersebut maka suami diperkenankan memilih dan
mempekerjakan wanita lain untuk menyusui anaknya tersebut.
وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ
فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”
Kewajiban
seorang Ayah memberikan upah kepada perempuan yang telah menyusui anaknya ialah
berdasarkan kemampuan. Ketentuan ini termaktub dalam ayat berikutnya, QS. At
Thalaq (65): 7,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ
مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ
اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ
بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“ Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. (QS. At Thalaq: 7)[4]
Dalam
buku al-Quran wa Tafsiruh yang diterbitkan departemen agama RI.
disebutkan apabila kemampuan ayah itu hanya bisa memberikan makan karena
rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya.[5]
Hal ini karena Allah swt. tidak akan memikulkan beban kepada seorang hamba
melebihi batas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Baqarah (2):
286,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...الأية
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...”
Tiada
yang abadi di dunia ini, pada suatu waktu, Allah swt akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan, kekayaan sesudah kemiskinan, kecerdasan sesudah kebodohan,
kebahagian sesudah penderitaan. Allah berfirman dalam QS. Al Israq (94): 6,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا
“Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
- QS.
Al-Qashash (28): 26
Ayat
ketiga yang mengindikasikan disyariatkannya Ijarah ialah QS. Al Qashash
(28): 26,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا
يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al
Qashash: 26)
Ayat
ini merupakan salah satu bagian ayat yang menceritakan kisah Nabi Musa ketika
hijrah ke Negeri Madyan karena akan dibunuh oleh Fir’aun dan anak buahnya.
Sebelum
membahas QS. Al-Qashash (28): 26 diatas, karena ayat tersebut ialah sebuah
cerita sunah nabi Musa ‘alaih al-salam yang dalam pandangan ulama’ Islam
diistilahkan dengan syar’u man qablana, maka, perlu kiranya kami sampaikan
pembahasan syariat umat terdahulu yang bisa dijadikan pijakan istidlal.
Wahbah
al-Zuhailiy mengatakan bahwa Syar’u man qablana ialah hukum-hukum yang
disyariatkan Allah kepada umat terdahulu melalui perantara para nabi mereka
seperti nabi Ibrahim, Musa, Dawud, dan Isa ‘alaihim al-salam.[6]
Masih dalam sumber yang sama, Wahbah membagi syar’u man qablana menjadi
dua macam serta penjelasannya sebagai berikut:
a) Hukum-hukum
tidak disebutkan dalam syariat kita baik dalam Al Quran ataupun Al Sunah.
Syariat yang seperti ini tidak termasuk syariat bagi kita berdasarkan ittifaq.
b) Hukum-hukum
yang disebut dalam Al Quran dan Al Sunah. Pembagian kedua ini kemudian
dispesifikasikan lagi menjadi tiga macam yang mencakup:
1)
Hukum-hukum yang
telah di nasakh oleh syariat kita. Hukum-hukum tersebut juga bukan termasuk
syariat kita. Seperti hukum yang terkandung dalam QS. Al An’am (6); 146,
وَعَلَى الَّذِينَ
هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ
مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
“Dan
kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari
sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain
lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau
yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka disebabkan
kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar.” (QS. Al An’am:
146)
2) Hukum-hukum
yang ditetapkan oleh syariat kita. Hukum-hukum tersebut berlaku pada kita umat
nabi Muhammad Saw. Semisal hukum berpuasa yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah
(2); 183,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183)
Contoh
lainnya ialah hukum berkurban yang merupakan syariat bapak kita nabi Ibrahim ‘alaih
al-salam .
3) Hukum-hukum
yang diceritakan oleh Allah swt kepada kita dalam Al Quran atau disampaikan
melalui nabi Muhammad saw., tanpa adanya pengingkaran dan penetapan terhadap
hukum tersebut. Pembagian ketiga inilah yang kemudian menjadi perdebatan diantara
ulama’. Contohnya hukum qishash dalam syariat Yahudi yang termaktub
dalam QS. Al-Maidah (5): 45,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ
فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ
بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan kami Telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan
(hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 45)
Terhadap
klasifikasi yang ketiga ini para ulama’ terpilah menjadi dua kubu, dimana
mayoritas Hanafiyah, malikiyah, sebagian Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam satu
riwayat yang kuat berpendapat bahwa hukum-hukum tersebut termasuk syariat bagi
kita. Sedangkan Syafi’iyah berdasarkan pendapat yang kuat menurut mereka,
Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa syar’u man qablana
bukanlah termasuk syariat kita.[7]
Menurut
pemakalah, QS. Al Qashash (28): 26 dengan didukung oleh dalil-dalil lain
tentang Ijarah baik dari Al Quran maupun Sunah Nabi, termasuk dalam
klasifikasi syar’u man qablana bagian kedua, yakni hukum-hukum yang
ditetapkan oleh syariat kita dan hukum-hukum tersebut berlaku pada kita umat
nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana
ayat sebelumnya, dalam memahami QS. Al Qashash (28): 26, juga perlu untuk
diperhatikan beberapa kata kunci sebagai berikut:
Ista’jirhu : Ambillah upahan dia sebagai
pekerja
Ista’jarta : Engkau ambil upahan sebagai
pekerja
Al
Qawiyu :
yang kuat
Al
Aminu :
dapat dipercaya
QS.
Al Qashash (28): 26, menjelaskan tentang nabi Musa ‘alaih al-salam yang
hendak diangkat sebagai pekerja pada keluarga seorang yang saleh dan memiliki
dua orang anak perempuan. Sebelumnya nabi Musa telah membantu kedua wanita
tersebut saat mengambilkan air untuk minum ternak mereka. Kisah tersebut
sebagaimana termaktub dalam firman-Nya QS. Al Qashash (28): 22 sampai 25.
Dalam
bukunya, Dwi Swiknyo, SEI. Menjelaskan bahwa saat pertemuan itulah nabi Musa ‘alaih
al-salam mendapatkan tawaran menjadi pekerja dikeluarga itu untuk mengurus
ternak, salah satu dari dua perempuan tersebut berkata pada ayahnya dalam
memberikan pertimbangan untuk mempekerjakan Musa, sebagaimana firman Allah:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا
يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ
“Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita)”
Pertimbangan
untuk menjadikan Musa pekerja dikeluarga itu Karena Musa ‘alaih al-salam
mempunyai tubuh yang kuat dan dapat dipercaya.
إِنَّ خَيْرَ مَنِ
اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Karena
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya.”
B. Defenisi Ijarah
Ijarah
berasal dari kata al-ajr yang berarti sama dengan kata al-‘iwadh
yaitu ganti rugi atau upah. Menurut Dr. Helmi Karim, Ijarah dalam
pandangan syara' berarti akad atas manfaat dengan imbalan atau tukaran dengan
syarat-syarat tertentu. Dalam arti luas, Ijarah bermakna suatu akad yang
berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah
tertentu.[8]
Sedangkan
Dwi Suwiknyo, SEI. dalam bukunya Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam,
memberikan makna Ijarah dengan arti akad pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Mu’ajir memberikan upah
atau uang sewa kepada musta’jir, sehingga musta’jir mengakui pendapatan
sewa atau upah.[9]
Misalnya, transaksi mahasiswa yang menyewa rumah untuk kos tempat tinggalnya
selama kuliah atau para pekerja yang mendapatkan upah atau gaji setiap
bulannya. Dalam Al Quran bentuk kalimat kerja Ijarah yakni ista’jartu
disebut dalam QS. Qhashas (28); 26,
قَالَتْ
إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".(QS.
Al Qashash: 26)[10]
Di
dalam kitab Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh karya Dr. Wahbah al-Zuhailiy.
Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Ijarah menurut etimologi adalahبيع المنفعة
yang artinya menjual manfa’at. Demikian pula artinya menurut terminologi
syara’. Mengutip pendapat mazdahib al-arba’ah, beliau, Dr. Wahbah
al-Zuhailiy memilah:
1. Ulama Syafi’iyah memberikan defenisi Ijarah
sebagai berikut:
الايجار
هو عقد على منفعة مقصودة معلومة محابة قابلة للبذل والاباحة بعوض معلوم
“Ijarah
adalah ‘akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,
serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
2. Ijarah menurut ulama Hanafiyah:
الايجار
هو عقد علي المنا فع بعوض
“Ijarah
adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
3. Ulama Malikiyah yang juga diamini oleh
Hanabilah mendefinisikan Ijarah:
الايجار
هو تمليك منا فع شيئ مباحة مدة معلومة بعوض
“Ijarah
adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu
dengan mengganti.”[11]
Ada
yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah mengupah), yakni
mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa,
yakni mengambil manfaat dari barang.[12]
Mayoritas
ulama’ fiqh berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaat, dan yang
boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka
melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya,
dan lain sebagainya, yang semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.
Secara
garis besar dapat pemakalah simpulkan, pengertian Ijarah adalah: seorang
yang saling melakukan akad sewa barang untuk diambil manfaatnya, bukan
mengalihkan kepemilikan barang tersebut (baca: jual beli jasa).
- Rukun
Ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul yang
antara lain dengan menggunakan kalimat al-ijar dan al-isti’jar.
Adapun menurut jumhur ulama’, rukun Ijarah ada empat, yaitu:
1. ‘Aqidain (orang yang berakad) yaitu
mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan musta’jir
(orang yang menyewa sesuatu atau menerima upah).
2. Shighat akad yaitu ijab dan
qabul antara mu’jir dan musta’jir
3. Ujrah (upah)
4. Ma’qud ‘alaih (Manfaat
berupa barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)[13]
BAB
III
KESIMPULAN
- QS.
At Taubah (9):105, QS. At Thalaq (65): 6, QS. Al-Qashash (28): 26
- seorang
yang saling melakukan akad sewa barang untuk diambil manfaatnya, bukan
mengalihkan kepemilikan barang tersebut (baca: jual beli jasa).
- Aqidain (seorang
yang menyewakan dan yang menyewa barang), shighat aqad (ijab
qabul), ujrah (upah), dan ma’qud ‘alaih (Manfaat
berupa barang yang disewakan).
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Zuhailiy,
Wahbah, 1987, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut, Lebanon: Dar
al-Fikr)
Departemen
Agama RI, 1998, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra
Departemen
Agama RI, 2009, Al-Quran wa Tafsiruhu, (Lembaga Percetakan al-Quran
Departemen Agama)
Suwiknyo,
Dwi, 2010, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, (Jogjakarta:
Pustaka pelajar)
[1] Departemen Agama RI, al-Quran
dan Terjemahannya.273
[2] Ibid. 817
[3] Dwi suwikno, … 108-109
[4] Departemen Agama RI, al-Quran
dan Terjemahannya. 817
[5] Departemen Agama RI, Al-Quran wa Tafsiruhu, (Lembaga
Percetakan al-Quran Departemen Agama 2009), 10/190
[6] Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiz
Fiy Ushul al-Fiqh, (Lebanon, Beirut: Dar al-Fikr, 1999), 101
[7] Wahbah al-Zuhailiy, al-Wajiz.....
101-103
[8] Helmi Karim, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 29
[9] Dwi Suwiknyo, Kompilasi
Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, (Jogjakarta: Pustaka pelajar, 2010), hlm. 106
[10] Departemen Agama RI, al-Quran
dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1998).
[11] Wahbah
al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr,
1987), juz 4, hlm. 731-732
[12] Rachmat Syafe’i. Fiqh
Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.122.
[13] Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh
al-Islamiy wa Adillatuh …juz 4, hlm. 731
Tidak ada komentar:
Posting Komentar