Rabu, 04 November 2015

Dilalah Ghairu Wadih (YUSUF)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dinamakan dengan Dilalah Ghairu Wadih?
2.      Apa yang dimaksut dengan al-Khafi?
3.      Apa yang dimaksut dengan al- Musykil?
4.      Apa yang dimaksut dengan al-Mujmal?
5.      Apa yang dimaksut dengan al-Mutasyabih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dilalah Ghairu Wadih
Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih (Mubham al-Dilalah), Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih terbagi kepada empat bagian: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih. Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai dengan kategorinya.[1]
1.      Khafi
Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam. [2]
Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Contoh:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
lafadz (السا ر ق) As-Sariq, artinya yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya.Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan adalah macam yang samar seperti pencopet, dia adalah juga pengambil harta secara terang–terangan dengan menggunakan macam-macam keterampilan atau keahlian memainkan tangan dan keahlian menghindari pandangan mata orang di sekitarnya.
Hukum khafî yaitu wajib mengetahui makna dari lafal tersebut dengan sebuah pemikiran, perenungan, pemahaman pada faktor-faktor yang menjadi sebab tersembunyinya makna tersebut. Apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya kelebihan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus perampok yang terkait dengan pencurian diatas maka disesuaikan dengan apa yang ditunjukkan dhahir lafal tersebut. Begitu juga apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya pengurangan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus lafal nabâsy yang terkait pencurian diatas maka tidak disesuaikan dengan zhâhir lafal dan tidak berlaku hukum atasnya.[3]

2.      Musykil
Yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat diketahui kecuali dengan qarînah. Kebalikan dari musykil yaitu nash. Abu Zahrah menambahkan perbedaan antara khafî dan musykil bahwasanya khafî itu sebabnya bukan pada lafal tersebut tetapi pada penerapan atau aplikasi hukum tersebut sedangkan musykil sebabnya pada lafal itu sendiri dan tidak mungkin maknanya diketahui kecuali dengan qarînah yang menunjukkan maksud tersebut.
Contohnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya memiliki dua ma'na; Suci atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat. Diantaraya Imam Syafii dan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru' sebagi Thaharah. sedangkan menurut Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil.
Hukum musykil adalah Wajib mengkaji serta menela'ah lafadz musykil untuk mengetahui maksud serta ma'na lafdz tersebut serta mengamalkanya, sesuai dengan perbandingan keterangan serta dalil-dalil yang menyertainya.
3.      Mujmal
Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak dipahami kecuali dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan akal. Lafal ini kebalikan dari mufassar. Terdapat juga definisi yang lain yaitu lafal yang maknanya tersembunyi karena banyaknya makna dan tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan.[4]
Lafal mujmal ini lebih samar dibandingkan dengan lafal sebelumnya karena dari segi shîghah-nya saja tidak menunjukkan arti yang dimaksud dan tidak ada pula qarînah yang dapat menjelaskan maksud tersebut.
Contoh
Setidaknya ada dua sebab lafal tersebut merupakan lafal mujmal.
a. Lafal-lafal yang asing.
Misal lafal (الهلوع) dalam firman Allah pada surat Al-Ma’ârij
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعاً (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً (21(
Artinya : “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20) dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (21).”
Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (الهلوع) yang tidak dapat dipahami karena termasuk lafal asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.[5]
b. Pemalingan dari makna lughâwî (etimologi) ke makna ishthilâhî (terminologi)
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan dari makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam menentukan maksud tersebut maka tidak boleh mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan dari syâri’. Jika penjelasan tersebut sempurna dan jelas maka lafal hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan hukumnya berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak sempurna dan adanya kesamaran maka berpindah ke hukum musykil.
4.      Mutasyabihat
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah  lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighat-nya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
a)      Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan surat dalam alqur’an.
b)      Ayat-ayat yang menurut dzahir-nya mempersamakan Allah yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak terang ) artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam kelompok yang terang artinya lafadz muhkam berada dalam tingkat atas dari segi kejelasannya. Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i), sedangkan lafadz yang mutasyabih dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan (dzanni).[6]
Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:
طه,   ص,   حم
يدالله فوق ايديهم
“ Tangan Allah diatastanganmereka “.( Q.S.Al-fath :10)

Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang terdapat pada beberapa permulaan surat ( di  dalam al-qur’an ) itu sendiri tidak menunjukkan artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki dari padanya.  Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu pula ayat-ayat yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya, dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah Maha Suci dari ( mempunyai ) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.

BAB III
KESIMPULAN
1.      Dilalah Ghairu Wadih (Mubham al-Dilalah), Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya.
2.      Al-Khafi adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.
3.      Musykil yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat diketahui kecuali dengan qarînah.
4.      Mujmal ialah Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak dipahami kecuali dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan akal.
5.      Mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.



[2] Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), h.  298
[3] https://repenttoallah.wordpress.com/2015/03/26/khafi-musykil-mujmal-dan-mutasyabih-2/ 16-10-2015 (08-07)
[5] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushûl al-Fîqh, Dar al-Hadits, Kairo, tc., 2003, hal. 161
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar