Tafsir
Pada Masa Nabi Dan Sahabat Serta Tokoh-Tokohnya
Oleh:
Muhammad Yusuf
A. Tafsir pada masa Nabi Muhammad SAW
Sesungguhnya, penafsiran Al-qur’an sudah
berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad SAW (571-632H), dam masih tetap
berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa yang akan mendatang. Penafsiran
Al-qur’an sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan
sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu Al-qur’an, khususnya
tafsir Al-qur’an. Upaya menelusuri sejarah penafsiran Al-qur’an yang sangat
panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia Islam itu tentu saja bukan
perkara mudah.[1]
Secara global, sebagian ahli tafsir
membagi periodisasi penafsiran Al-qur’an ke dalam tiga fase: periode
mutaqaddimini (abad 1-4 H), Periode mutaakhirin(abad 4-12H), dan periode
baru(abad 12-sekarang). Dalam hal ini, ahmad Izzan lebih cenderung memilah
sejarah perkembangan penafsiran Al-qur’an kedalam empat periode: periode Nabi
Muhammad SAW, mutaqaddimin, Mutaakhirin, dan kontemporer .[2]
Pada saat al-Quran diturunkan, Rasul SAW,
yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada
sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Quran, khususnya menyangkut
ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai
dengan wafatnya Rasul SAW, walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya
riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul SAW sendiri tidak
menjelaskan semua kandungan Al-Quran.[3]
Penafsiran atau pemahaman rasulullah
terhadap al-Qur’an selalu dibantu wahyu, Siti Aisyah r.a berkata: “Nabi
menafsirkan hanya beberapa ayat saja menurut petunjuk-petunjuk yang diberi
Jibril”. Sahabat-sahabat yang mulia tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur’an ketika rasul masih
hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an, memang
apabila mereka tiada mengetahui suatu lafazh Al-Qur’an atau maksud suatu ayat,
segeralah mereka bertanya pada rasul sendiri atau kepada sahabat yang dipandang
dapat menjelaskannya.[4]
Dalam kondisi seperti ini, belum dirasakan perlunya
ilmu tafsir. Demikian pula untuk membentuk kelompok-kelompok studi, kecuali
untuk sebagian ayat yang memang dirasa sulit bagi para sahabat.[5]
B.
Tafsir
pada masa Sahabat
Kalau pada masa Rasul SAW para sahabat
menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah
wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai
kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu
Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang
menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang
tercantum dalam al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk
agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah
yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.[6]
Banyak sahabat yang dibekali Rasulullah
SAW dengan ilmu Al-Qur’an, dan ada pula yang akrab bergaul dengan Rasulullah
SAW, sehingga banyak diantara mereka menjadi mufassir di kalangan sahabat.
Apabila diseleksi untuk menemukan beberapa sahabat yang paling banyak
memberikan penafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur’an, maka ada sepuluh sahabat
yang utama dalam bidang tafsir, yaitu :
1. Abu Bakar as-siddiq
2. Umar bin al-kattab
3. Usman bin affan
4. Ali bin Abu Talib
5. Abdullah bin Mas’ud
6. Abdullah bin Abbas
7. Ubai bin Ka’ab
8. Zaid bin Sabit
9. Abu Musa al-asy’ari
10. Abdullah bin Zubair
Empat orang diantaranya menjadi
kholifah Rasul. Keempatnya dinamai Khulafa’ur-Rasyidin. Dari keempat orang ini,
Ali bin Abu Thalib tercatat sebagai yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an.
Sedangkan Abu Bakar, Umar, dan Usman sedikit sekali riwayat tafsir yang berasal
dari beliau. Hal itu disebabkan karena mereka terdahulu wafat dan tafsir pada
masa itu belum berkembang dengan pesat. Namun di antara sepuluh sahabat diatas,
Ibnu Abbas yang paling banyak, paling utama, dan paling dalam pengetahuanya
mengenai tafsir Al-Qur’an.
Para sahabat dalam menafsirkan
Al-Qur’an pada masa ini berpegang pada:[7]
a) Al-Qur’an Al Karim, sebab apa yang
dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat lain. Terkadang pula sebuah ayat
datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh yat lain yang membatasi atau mengkhususkannya,
inilah yang dinamakan tafsir al qur’an dengan al qur’an.
b) Nabi
Muhammad SAW, beliaulah yang pemberi penjelasan (penafsiran) al-qur’an
otoritatif. Ketika para sahabat para sahabat mendapatkan kesulitan dalam
memahami sebuah ayat, mereka merujuk pada Nabi.
1. Pemahaman dan ijtihad. Adalah para
sahabat apabila tidak mendapatkan tafsir dalam al qur’an dan sunnah Rosulullah,
meraka melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka adalah orang –orang Arab asli
yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui
aspek-aspek ke-Balaghah-an yang ada di dalamnya.[8]
[1] https://iermafikria.wordpress.com/metodologi-tafsir-klasik-hingga-modern-kontemporer/ diakses pada 3-10-2015
(21-40)
[2] Ibid
[3] M.Quraish Shihab, Membumian
Al-Qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka, cet:1, 2007) h.105
[4]
http://zainalsoftware.blogspot.co.id/2015/05/makalah-sejarah-tafsir-al-quran-pada.html 3-10-2015 (21-40)
[5] Abdul Hayy Al-Farmawi. Metode
Tafsir Maudhu’i dan Penerapannya. (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 239.
[6] M.Quraish Shihab, Membumian
Al-Qur’an. h.106
[7] Manna
Al
Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al Kausar,
cet:9, 2013) h.422
[8] Ibid
izin mengambil ilmu ustadz
BalasHapus