Rabu, 04 November 2015

Tafsir Pada Masa Nabi Dan Sahabat Serta Tokoh-Tokohnya

Tafsir Pada Masa Nabi Dan Sahabat Serta Tokoh-Tokohnya
Oleh: Muhammad Yusuf

A.    Tafsir pada masa Nabi Muhammad SAW
Sesungguhnya, penafsiran Al-qur’an sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad SAW (571-632H), dam masih tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa yang akan mendatang. Penafsiran Al-qur’an sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu Al-qur’an, khususnya tafsir Al-qur’an. Upaya menelusuri sejarah penafsiran Al-qur’an yang sangat panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia Islam itu tentu saja bukan perkara mudah.[1]
Secara global, sebagian ahli tafsir membagi periodisasi penafsiran Al-qur’an ke dalam tiga fase: periode mutaqaddimini (abad 1-4 H), Periode mutaakhirin(abad 4-12H), dan periode baru(abad 12-sekarang). Dalam hal ini, ahmad Izzan lebih cenderung memilah sejarah perkembangan penafsiran Al-qur’an kedalam empat periode: periode Nabi Muhammad SAW, mutaqaddimin, Mutaakhirin, dan kontemporer .[2]
Pada saat al-Quran diturunkan, Rasul SAW, yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul SAW, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul SAW sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.[3]
Penafsiran atau pemahaman rasulullah terhadap al-Qur’an selalu dibantu wahyu, Siti Aisyah r.a berkata: “Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja menurut petunjuk-petunjuk yang diberi Jibril”. Sahabat-sahabat yang mulia tidak ada yang berani  menafsirkan al-Qur’an ketika rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an, memang apabila mereka tiada mengetahui suatu lafazh Al-Qur’an atau maksud suatu ayat, segeralah mereka bertanya pada rasul sendiri atau kepada sahabat yang dipandang dapat menjelaskannya.[4]
Dalam kondisi seperti ini, belum dirasakan perlunya ilmu tafsir. Demikian pula untuk membentuk kelompok-kelompok studi, kecuali untuk sebagian ayat yang memang dirasa sulit bagi para sahabat.[5]
B.     Tafsir pada masa Sahabat
Kalau pada masa Rasul SAW para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.[6]
Banyak sahabat yang dibekali Rasulullah SAW dengan ilmu Al-Qur’an, dan ada pula yang akrab bergaul dengan Rasulullah SAW, sehingga banyak diantara mereka menjadi mufassir di kalangan sahabat. Apabila diseleksi untuk menemukan beberapa sahabat yang paling banyak memberikan penafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur’an, maka ada sepuluh sahabat yang utama dalam bidang tafsir, yaitu :
1.      Abu Bakar as-siddiq
2.      Umar bin al-kattab
3.      Usman bin affan
4.      Ali bin Abu Talib
5.      Abdullah bin Mas’ud
6.      Abdullah bin Abbas
7.      Ubai bin Ka’ab
8.      Zaid bin Sabit
9.      Abu Musa al-asy’ari
10.  Abdullah bin Zubair
Empat orang diantaranya menjadi kholifah Rasul. Keempatnya dinamai Khulafa’ur-Rasyidin. Dari keempat orang ini, Ali bin Abu Thalib tercatat sebagai yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an. Sedangkan Abu Bakar, Umar, dan Usman sedikit sekali riwayat tafsir yang berasal dari beliau. Hal itu disebabkan karena mereka terdahulu wafat dan tafsir pada masa itu belum berkembang dengan pesat. Namun di antara sepuluh sahabat diatas, Ibnu Abbas yang paling banyak, paling utama, dan paling dalam pengetahuanya mengenai tafsir Al-Qur’an.
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an pada masa ini berpegang pada:[7]
a)      Al-Qur’an Al Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di  tempat lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh  yat lain yang membatasi atau mengkhususkannya, inilah yang dinamakan tafsir al qur’an dengan al qur’an.
b)      Nabi  Muhammad SAW, beliaulah yang pemberi penjelasan (penafsiran) al-qur’an otoritatif. Ketika para sahabat para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami sebuah ayat, mereka merujuk pada Nabi.
1.      Pemahaman dan ijtihad. Adalah para sahabat apabila tidak mendapatkan tafsir dalam al qur’an dan sunnah Rosulullah, meraka melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka adalah orang –orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-Balaghah-an yang ada di dalamnya.[8]




[2] Ibid
[3] M.Quraish Shihab, Membumian Al-Qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka, cet:1, 2007) h.105
[4] http://zainalsoftware.blogspot.co.id/2015/05/makalah-sejarah-tafsir-al-quran-pada.html  3-10-2015 (21-40)
[5] Abdul Hayy Al-Farmawi. Metode Tafsir Maudhu’i dan Penerapannya. (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 239.
[6] M.Quraish Shihab, Membumian Al-Qur’an. h.106
[7] Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al Kausar, cet:9, 2013) h.422
[8] Ibid

1 komentar: